Rabu, 21 Desember 2016

Sadar (?)

Aku baru sadar, aku belum pernah sekalipun mendengarmu berucap maaf ; Aku belum pernah melihatmu menyesal.
Aku belum pernah merasakan kamu yang berusaha menenangkan konflik, alih-alih kamu membebaninya dengan menegaskan siapa yang benar dan siapa yang salah ; alih-alih,kamu memberikan kriteria kepada beberapa orang dan bersabda bahwa kamu lebih baik daripada mereka. Lebih benar.
Benarkah?
Hanya selalu salahkukah?
Menjadi salahkukah? Atau aku tidak sebegitu pentingnya sehingga kau tidak perlu berepot-repot merasa menyesal, merasa mengerti?
Apa yang kamu mengerti?
Yang kamu tahu, kamu terluka hebat, dan harus membalaskan beban hatimu. Tidak peduli jika itu mengakibatkan beberapa oranglainnya merasa kesakitan.
Yang kamu tidak tahu, kamu tidak tahu apa-apa. Kamu bahkan tidak pernah memiliki niatan untuk mencari tahu apa-apa, bukan?
Aku bukan santa, apa yang kamu harapkan?
Kamupun bukan santa, tapi mengapa selalu bersikap tak punya dosa?

Aku hanya berpikir, teman-temanku, entah mereka titisan syaitan ataupun justru titipan ilahi; kata-kata mereka menjadi terasa semakin masuk akal untuk kuterima. Mereka semakin terdengar benar.

Junk,

Minggu, 18 Desember 2016

Absurd dan insecure

Jadi malem ini, Bella ngechat gue. Harusnya biasa aja, tapi yang bikin jadi agak nggak biasa adalah ucapan yang dia kirimkan. Well. Bella, adalah Monic tipe kedua, istilahnya kaya gitu. Dia orang yang secuek gue dalam menghadapi apapun, kecuali hal-hal yang emang menurutnya perlu perhatian lebih. Ceritanya besok gue mau balik ke kota orang, bukan hal yang istimewa karena sudah menjadi rutinitas. Nah terus gue heran karena Bella tumben-tumbenannya bilang gini,

.

.

Well. Kalau lo mengenal Bella dengan cukup lama, lo akan tahu bahwa itu bukan kata-kata yang sering dia ucapkan.
Jujur gue serem sih. Bukannya serem apa gitu ya, tapi kata orang, kalo ada sesuatu yang terjadi diluar kebiasaan, biasanya ada 'sesuatu' (eh anjir gue serem sendiri). Jadinya yaa.....gue takut. Karena dia ga biasa-biasanya ngomong gitu dan mana besok gue naik pesawat ya kan.... (ketok-ketok kayu amit amit).

So ya. Absurd. Gtu aja.

P.s. abaikan chat terakhir. Itu kehaluan tingkat khayangan.

Junk,

Jumat, 16 Desember 2016

Terkadang,

Kadang kita bisa bener-bener ngerasain sesuatu hal kalau hal tersebut udah ga sama kita lagi. Seseorang, kenangan, barang-barang memorable. Apapun itu.
Pernah nggak lo ada di satu tempat, sama orang-orang baru di kehidupan lo, dan ga peduli seasyik atau seheboh mereka disitu, rasanya beda sama ketika lo disitu sama orang-orang yang menurut lo spesial di hidup lo.

vibesnya, beda.

Dan ditengah-tAengah suara tawa yang mereka teriakan dan tawa lo sendiri yang lo ciptakan, lo akhirnya diam dan tanpa sadar terpikirkan, "Kalo ada si xxx sama vvv disini, bakalan asyik kali ya,"
Dan itu cuma bakal ada di pikiran doang karena sampai kapanpun, itu besar kemungkinan nggak bakal bisa kejadian lagi.

So many great people. So many memories. So little times.

Well. Actually. Postingan ini datang dari curhatan kangen dari wanda tengah malam kemaren.

Have you ever felt like you miss some people so much you can't do anything about it except texting them? While texting feels nothing without presence?

Sigh.

junk.

Selasa, 06 Desember 2016

****



"...Feelings for someone that become reminiscent of the freedom felt when driving at midnight when the streets are cold and hauntingly lonely, the time when there's too much self-awareness for my liking."

the time whhen I love you the most.

I miss you damn much everything seems like so bitter and painful.

xxx,

Sabtu, 03 Desember 2016

#13


Darling,

My love is vicious for you.
I’ve broken many hearts, including my own, because I refuse to settle for anything less than the exact shade of your soul.

It will be a color I can’t quite name, but somehow I’ll recognize it, like déjà vu has always been the story of how I’d find you.

It will be the color of falling asleep during a thunderstorm and waking up to the smell of firewood and sea salt.

It will be the color of the first days of spring, with my windows rolled down and adventure on the breeze.
It will be the color of hugging the people I love and hearing their voices after being away from them a while.

It will be the color of the backs of my eyelids, the one I see every time I blink and every time I dream; the one I will see eternally when my body fails and my soul leaves this earth.

So if I must, I’ll break their hearts and I’ll break mine. I will search until I finally come across the lovely hues of you.

And then I’ll paint my life with the shades of you so that the rest of the world might understand why you’re my favorite color.

— Z.M. , Letter #7 to you, wherever you are.

Rabu, 23 November 2016

Nemu

Aku nemu artikel yang agak (banyak dikit) tae sih.
Tapi highlight deh buat nomor 23 dan 24, itu iya banget loh. Mumumumu ��

www.hipwee.com/hiburan/untungnya-punya-pacar-fotografer/

Minggu, 13 November 2016

(Mengapa aku suka) Hujan

Jauhkan aku dari rokokku, barang laknat tersebut membuatku lupa terhadap sekelilingku
Tapi anehnya, Jika aku disuruh memilih antara berbungkus-bungkus rokok atau kamu, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama kamu, tanpa intervensi aroma tembakau tentunya. Benar, ini aneh. Setiap kali bersama kamu, aku jadi tak peduli; pada dimana aku, minuman apa yang kupesan, rokok merek apa yang kuhisap, aku jadi tak peduli--

"Jadi bagaimana?"
Sepotong tanya itu hadir membuyarkan monolog dalam kepalaku. Aku terkesiap. Dia memandangku dengan pandangan menuntut, mungkin juga geli karena aku sempat-sempatnya bengong tadi. Taruhan, pasti mukaku terlihat bloon sekali dihadapannya.

"Apanya yang bagaimana?"

"Ck. Ya itu tadi. Jadi bagaimana? Sampai tahap mana pencarianmu?" Dia menjelaskan dengan mimik muka menjelaskan satu ditambah satu sama dengan dua, terlihat sabar sekali.

Aku hanya ber-o saja. "Tidak gimana-gimana," jawabku sambil meneguk peppermint tea dingin yang esnya sudah mencair hingga rasanya hambar. "Lagian mau nyari sampai bagaimanapun, baliknya juga ke kamu kok." dia terhenyak dan menatapku dengan cepat. Alisnya bergerak naik tanda mencerna ucapanku, yang sungguh mati, aku bahkan tidak mencernanya terlebih dahulu sebelum mengucapkannya tadi. "Mm--maksudku, ya balik ke kamu. Ini lho, kita lagi nongkrong bareng kan?" jawabku seenak perutku. Alibi yang tidak bertanggung jawab, tapi toh dia menerimanya dengan anggukan puas juga.

"Hujan." Ujarnya singkat sambil menoleh ke jendela besar di sebelah  kiriku.

Aku mengikuti arah pembahasannya, entah apa yang ada dipikiran manusia dihadapanku ini tentang langit yang berubah kelabu diluar sana. Sejujurnya, aku bahkan tidak peduli kalau terjadi badai sekalipun, selama dia belum akan beranjak dari kursinya sekarang.
Lalu mendadak saja ia menatapku, tajam, disisipi dengan senyum yang--ampun, membuatku mempertanyakan kualifikasi pada bagian produksi perusahaan semesta. Ia nyengir. Tak tahan, akupun ikut nyengir, entah oleh sebab apa.

"Kamu belum mau pulang kan? Lagian masih hujan, nih. Disini aja dulu ya?"

Aku nyengir lagi. Kali ini dengan tulus ikhlas.

Peacock, 2014

Jumat, 21 Oktober 2016

Chakra

You know, all the things that happened to us in this universe are connected to each other. Day by day, I believe it.
I met some people. Ive gone this far, Ive met some helpful people. Something that I never really thought before. And it came in the way I never expected before.
It's good. Yeah, its good. You lose some, you get some. And im so grateful about it. Im still learning. To see. To understand. To cooperate with this universe. Something that probably, in the future, Ill call it 'destiny'.
Who knows?
But universe is indeed amazing. You probably dont believe in God, but if you are also dont believe in the power of Universe...then I dont know what you are anymore.
So yeah. There's nothing such so far so good. Like what my friend (that I just met a week ago!) said : "your body will heal, your mind will heal. What done is done; what will happen, will happen. Forgive yourself."

Forgive yourself, is a powerful thing. At first I think, when a relationship's off, forgetting is the hardest part. But apparently, forgiving those, especially yourself, is way harder. If you meet someone attract you that much, forgetting is not a big deal. But then deep down you keep recall what have you done wrong in your past, what you shouldve done, what you shouldnt have done. Those kind of things are poison. And some people, keep that poison within themselves. So im still learning.


Few days ago, I met this guy. A puerto rican guy. The way I met him is just so unexpected, the universe conspired. He is, a natural healer. He taught about balance, and so on. The third time I met him, he suggest--well, he insist me to do some healing. I have no idea before, and ofcourse I rejected it. I dont like being scanned, or touched especially by a stranger. But then he said, "you carry a lot of your past in your body, and it affects your mental , do you know that?Dont be so stubborn." 

And by that, I fully surrender myself. One thing for sure, no explaination but I trust this guy. So yeah. The rest is history.
And again, universe conspired. In an amazing way make us realize that we're just tiny tiny little human.
I'm glad having a chance for this kind of things. 


Im still learning tho.
Im still learning.

****
After the process, my friend told me about human's aura and chakra. And I got mine. The one that is bigger and stronger than the others,

well, thats a simple research i found after he told me.
I dont believe in many things. But surely I do believe in nature and universe conspiracy. So now, I finally understand that everything in this universe is connected to each other. Sometimes, it comes up in a form of what we called coincidence.  


So yeah :)


Im still learning.


Im still learning.


Im still learning.

-junk

Selasa, 18 Oktober 2016

Dream

I was dreaming...
I was dreaming about us...
The realest dream, after all those dreams about you at the past...... I was dreaming we say good bye to each other..... The realest good bye, since we never really said any..... I was saying good bye.... And you said it too..... You were smiling, and I was too..... I almost forgot how you really look like, but you just seem so real.... We were looking at each other before separated by the lift door--the lift that I was in....that is weird...but now I got the message.
You were the one who said that we will not meet again.....And yeah, I guess it's really my time to realize that....So that was....One emotional dream I ever got....But then I got the message....Even my dream wanted us to have good bye....
At least we were smiling at that dream...so we really have to smile faithfully in the reality.....Because it seems like universe is no longer blessing us.....For those who said its only a dream, well, I really appreaciate this kind of dream........so bumbumbumdrumdrumdrum, its been a very long time....This is kinda relieving, knowing the difference between I have to, and I want to.....
So ya.....My time is up...I wish all the best this world can give to you.....Even if it means you will be the whole new person that I wont ever recognize......I dont mind being a little piece of the past......because it felt good...so good..... guess that now I really have to pay attention to what and who is right in front of me...

"saya ingin kabur, sebentar saja. boleh tidak? saya tidak ingin dicari atau mencari. saya tidak ingin memprioritaskan apapun untuk sebentar saja. saya ingin orang-orang mendadak lupa akan saya dan berhenti menyeret-nyeret saya dalam urusan mereka. saya ingin dunia menjadi kedap suara jadi saya tidak perlu mendengar teriakan-teriakan kasar yang tidak selayaknya saya dengar. saya tidak ingin merasakan apapun yang menyebabkan saya harus bertanggung jawab pada sesuatu yang bahkan tidak saya perbuat. saya ingin sistem pengatur emosi dalam sudut otak saya dimatikan sebentar, supaya saya tidak perlu merasakan apa-apa, bahkan rasa senang sekalipun, kerena toh, rasa senang hanyalah pengantar rasa-rasa mengerikan yang akan timbul setelahnya. saya tidak ingin terlalu memedulikan perasaan orang lain, jika setan dalam diri saya harus hidup lebih kuat lagi, maka biarkanlah saya menjadi jahat untuk mereka. saya ingin bisa menyentuh siapapun dengan sepuasnya, peduli setan dengan perasaan oranglain yang harus saya jaga. saya tidak ingin memahami oranglain dan alasan mengapa mereka harus dipahami. saya tidak ingin bersusah payah membantu orang lain yang bahkan ingat kepada bantuan sayapun tidak. saya ingin merasa bahwa diri saya lebih penting daripada oranglain yang saya pentingkan. saya tidak ingin merasa bersalah pada sesuatu yang menurut mereka harus saya lakukan untuk mereka. saya ingin disebut 'brengsek' karena memang begitu adanya, dan bukannya karena apa yang saya tampakkan untuk mereka. jadi bagaimana, boleh tidak?"

kepada "tuhan"ku yang berkuasa dalam segala jagad maya, jika ia memang ada.

Senin, 17 Oktober 2016

Gue harus optimis untuk sebab apa coba, tolong jelaskan.

������

Jumat, 07 Oktober 2016

I swear,

Aneh rasanya. Ketika dua orang yang sudah lama tidak bertemu, kembali dipertemukan dengan kesempatan yang tidak pernah kami berdua duga akan pernah terjadi, menjadi obat dari segala kehilangan dan kemuraman yang ada akhir-akhir ini.
Semesta memang aneh.
Dari perbincangan yang santai, menuju malam yang mungkin tidak akan kami berdua dapatkan lagi dalam waktu dekat ini. Menikmati suara halus dan senyum manis itu. Menikmati tubuh yang dalam beberapa kesempatan tidak sengaja direkatkan kepadaku. Menikmati langit malam, yang seperti kamu keluhkan 'Kok nggak ada bintang ya padahal cerah', atau cukup puas menikmati asap rokok dan dua gelas teh hangat yang pintamu "nggak usah manis manis ya, Bu, soalnya aku udah manis,". Menikmati saat-saat menyanyikan lagu-lagu milik Sia di dalam mobilmu sepanjang perjalanan, dan menikmati sepenuh hati menemanimu memanjatkan doa, seperti yang kamu bilang, "Apa aja deh, semua agama kan nggak ada yang buruk juga.", meskipun bukan itu kepercayaan yang dianut dirumah dimana kamu tinggal.
Dua orang yang sudah lama tidak bertemu, kembali dipertemukan, melakukan aktifitas seakan jeda waktu itu tidak pernah ada sebelumnya.
Jika jatuh cinta adalah kata yang berbeban berat, maka biarkanlah.
Dan aku bersumpah, di waktu ini, saya kembali jatuh cinta, untuk kamu, pain maker yang namun sekaligus menjadi personal pain relief saya.

Gawat. Bagaimana dong?

GM Kerep, 03.20 tadi. Saat mengamati orang-orang bermuka tertekan dan penuh doa.
Aku kok jadi pengen lihat senyum itu terus-terusan. Dengan seseorang yang berarti, waktu berlalu bagai terbang, sayang, pagi datang terlalu cepat dan kewajiban menuntut untuk diharuskan.

-junk

Kamis, 06 Oktober 2016

Sebentar,

N : “Sini, aku mau menanyakan sesuatu padamu.” 
M: “ Apa?”
N : “ Apa yang menyebabkanmu menjadi seperti ini?”
M : “ Barangkali kau tahu apa.”
N : “ Yeah, barangkali aku tahu siapa. Apakah mereka sebegitu berartinya bagimu?”
M : “ Barangkali.”
N : “ Apa mereka yang selama ini kaucari dalam hidupmu?”
M : “ Mungkin juga begitu.”
N : “ Apakah kau bisa membagi semua pemikiranmu pada mereka? Apakah kamu bisa menyerahkan semua perasaanmu kepada mereka?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apakah mereka memiliki pemikiran - pemikiran yang sejalan denganmu?”
M : “ Tidak.”
N :  “ Apakah mereka bisa mengimbangimu?” 
M : “ Tidak.”
N : “ Apakah mereka bisa menerima semua pemikiran gila yang bercokol dalam kepalamu?” 
M : “Tidak.”
N : “ Apakah mereka membantumu menjadi hal baik apa yang kau harapkan terjadi padamu?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apa kau bisa membuka dirimu dengan lugas di hadapan mereka tanpa harus selalu menyembunyikan dan berlari menghindar?”
M : “ Tidak.”
n : “ Apakah mereka bisa memaklumimu?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apa kau yakin mereka ada untukmu disaat kau paling membutuhkan mereka?”
M : “ Tidak.”
N : “ Jikapun suatu saat nanti kau bisa hidup berdampingan dengan mereka, apakah kau yakin itu akan menjadi hubungan timbal-balik yang menyenangkan? 
M :” Tidak.”
N : “ Lalu dengan segala ‘tidak’ dan segala perbedaan yang sudah jelas akan membawamu menuju kerusakan yang tidak bertitik terang nantinya, mengapa kau masih menganggap seakan mereka adalah hal yang penting di hidupmu, bahkan jauh melampaui kepedulian dan kewajiban akan dirimu sendiri yang selalu kau abaikan? ‘Demi kebersamaan bersama mereka’, ‘Demi mendengarkan riuh suara mereka’. Bah! omong kosong apa pula itu? Kau tahu berapa banyak hal yang kau tinggalkan? berapa banyak rindu yang terpaksa kau sekat? berapa banyak malam yang kau lewatkan tanpa lelap yang layak? Bah! omong kosong.” 
M : Tidak. Tidak tahu. Bukan karena aku ‘diharuskan’ begitu, namun aku ‘ingin’ begitu.  Barangkali……takdir?” 

Perpustakaan Thomas aquinas, diantara kumpulan puisi Chairil Anwar. 15.04.  Mampus kau di koyak-koyak kebodohan! 

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan mengaku mencintai seseorang jika kau hanya sebatas senang melihat senyumnya tanpa pernah mengetahui apa arti dari senyum itu.


Jika kau mencintai dia dari yang terlihat saja, aku khawatir bagaimana jika dia tak lagi dapat kau lihat? - via bukanlangitsenja
yaampun, saya harus meminta maaf kepada seseorang karena telah memaknainya dengan sedangkal itu. 
benar, aku sedangkal itu merasakanmu.
- junk

Minggu, 02 Oktober 2016

Infinite

~And some days I can't even dress myself
It's killing me to see you this way~~

Suara mesin mobil yang diparkir terdengar statis dari depan kamarku, mendistorsi suara lagu yang sedang kuputar dari radio di dalam kamar. Tak lama kemudian, suara statis itu dimatikan dan terdengar bantingan pelan pintu mobil yang ditutup. Ponselku berkedip menampilkan satu buah missed-call dan pesan singkat yang menyusul setelahnya. Dari nomor yang tidak kusimpan--karena aku memang jarang sekali menyimpan nomor kontak, bahkan milik teman-teman terdekatku sekalipun.

'hei bisa keluar sebentar?'

Aku mengernyit memandang pesan singkat itu, lalu setengah mati mengamati nomor yang terpampang diatasnya, mencoba mengingat-ingat siapa pemiliknya. Nihil. Nomor tersebut benar-benar terasa asing dalam ingatanku.

Lama kudiamkan pesan singkat itu. setengah ingin masa bodoh namun juga penasaran. Maksudku, hampir jam sebelas malam dan aku mendapat tamu entah siapa diluar  rumah orang tuaku, bagaimana aku tidak merasa was-was?
Namun demikian kukubur rasa penasaranku dengan beranjak membuka pintu depan setelah kuterima panggilan masuk kedua.

Dan disana aku menemukannya. Dia berdiri disana dengan senyum kikuknya. Wajahnya terlihat lelah namun selebihnya dia terlihat baik baik saja.

"Eh. Tumben sekali kesini, malam - malam pula. Ada masalah apa?" tanyaku, masih dengan suasana yang canggung juga. Refleks saja sebetulnya, sudah lama sekali aku tidak terlibat urusan apapun dengannya setelah kekacauan selama beberapa saat belakangan ini, dan tiba-tiba saja dia berada di depan pagar rumah orangtuaku malam ini.

"Nggak apa-apa. Kebetulan aja lewat sini, jadi kuputuskan untuk mampir karena aku yakin kamu juga pasti belum tidur di waktu seperti ini. Lagipula aku ingin mengobrol. Boleh aku masuk?"

"Oh. Begitu." jawabku, menyangsikan apakah 'kebetulan lewat' darinya itu benar adanya. Aku memandangnya sebentar. Dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan ekspresi santai, namun aku cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa apapun yang ingin diobrolkannya denganku tidak akan sesantai apa yang berusaha ditampilkannya. Maka kubukakan pintu gerbang itu dan kupersilakan ia duduk di kursi teras rumah.

"Sebentar," aku bergumam pelan dan beranjak masuk, meninggalkannya dengan pandangan bertanya-tanya.
Aku beranjak masuk ke kamarku dan mengganti kaus tidurku dengan baju yang lebih layak, lalu kembali lagi ke depan untuk menemuinya yang sekarang memandang bingung padaku.

"Aku nggak tahu apa yang mau kamu obrolkan, tapi mengingat obrolan-obrolan kita selama ini, kurasa ada baiknya kalau kita mengobrol di dalam mobilmu saja. Atau dimanapun. Untuk sedikit privasi yang lebih layak." jawabku, sedikit teringat kemungkinan apabila orangtuaku tak sengaja mendengar obrolan kami.

Dia mengendikkan bahunya pelan sebagai isyarat setuju. Dan tak lama kemudian kami berdua sudah berada di dalam mobilnya, menembus jalanan sepi kota kecil ini.
"Kita mau kemana?" Tanyanya memecah keheningan?"

"Nggak tahu, nggak penting juga kan kita mau kemana." Jawabku berusaha acuh. Sudah sekian lama aku tidak melihat dirinya dan tiba-tiba saja sekarang aku berada sedemikian dekat dari tubuhnya. Membuat jantungku berlompatan tidak keruan, sesungguhnya.

"Ada apa?" Tambahku lagi.

"Tidak ada apa-apa." Jawabnya cepat. Bahunya menyandar di jok dengan kelewat kaku dan kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan cara sedikit tidak normal bahkan untuk jalanan lengang seperti ini, sesungguhnya bukan cara yang tepat untuk menunjukan bahwa dia tidak apa-apa.

"Kamu nggak berubah ya. Kalau mau berbohong, pintarlah sedikit." cetusku, tidak mengalihkan detail kecil yang mencurigakan tadi.

Ia tertawa. Meskipun tidak menjawab pertanyaanku, namun postur tubuhnya menjadi sedikit lebih rileks setelahnya. Ia mengusap rambutnya pelan. "Oh entah deh." ujarnya pelan.
Aku menghela napas pelan, seakan sudah akrab dengan keadaan seperti ini. Bosan, namun tidak bisa untuk tidak peduli.

"Kekasihmu ya? Kenapa lagi dia?" Tanyaku langsung, siapa yang butuh basa-basi disaat-saat seperti ini?

Dia meringis mendengar pertanyaanku, dan barangkali terselip sedikit perasaan bersalah di dalamnya. Mungkin.

"Sebenarnya aku nggak ingin membicarakan itu. Maksudku, apa aja selain dia. Yah...dia...nggak penting. Yah..kamu tahu lah."

"Apaan? Kamu nggak bisa bilang dia nggak penting kalau kenyataannya dia mengganggu pikiranmu sampai sejauh ini. Ayolah, aku tahu kamu nggak datang menemuiku begitu saja setelah berbulan-bulan lamanya seperti tadi cuma untuk menanyakan kabar dan berbicara basa-basi kan? Jadi..kalau aku boleh tahu, memangnya apa yang terjadi?"

Ia membiarkan suara penyiar radio yang menyala di dashboard mobilnya berganti dengan suara lagu sebelum akhirnya menjawabku.

"Aku kangen kamu." jawabnya pelan.

Aku memejamkan mataku, berusaha memblokir kata-katanya. Oh, jangan ini lagi, desahku putus asa. Dia mengucap rindu untukku  sebelum akan membantingku kembali dengan apapun kata-kata yang akan diucapkannya, seperti yang selama ini dilakukannya.

"Yeah. Lalu?" Aku memandang jalanan dari jendela di samping kiriku untuk menghindari tatapannya. Mengerti bahwa aku mencoba mengacuhkannya, tiba-tiba saja ia melesakkan tangan kirinya dalam genggaman tanganku, membuat jantungku terasa melorot sampai ke mata kaki.

"Lalu...nggak ada. Aku kangen kamu. Itu aja."

"Bagaimana kabar kekasihmu?" Potongku cepat, mengantisipasi kemungkinan buruk apapun yang akan menyongsongku.

Ketika dia tidak menjawab apapun, aku mencuri-curi pandang padanya, "Kalian sudah putus?" tanyaku, setengah berharap, setengahnya lagi merasa jijik pada harapanku sendiri.

Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. "Tidak kok." jawabnya pelan, membuatku ingin tertawa keras-keras karena tertampar kenyataan. Tentu saja bodoh! Ujarku pada diri sendiri.

"Tapi ya...kamu tau? Dia jadi..entahlah..dia jadi tak sepenting itu lagi buatku kini."

"Apakah aku pernah menjadi penting bagimu?" kata-kataku meluncur begitu saja tanpa sempat kupikirkan dengan rapi.

Dia tercengang mendengarku. "Iya lah! Hei aku selalu menganggapmu penting, oke? Menurutmu memangnya apa yang kulakukan malam ini disini jika kamu merasa aku nggak menganggapmu penting?"

"Oh nggak tahu deh, batas antara kenyataan dan harapan yang kamu kasih nggak pernah tampak benar-benar nyata untukku." ujarku kejam. Kepalang tanggung, aku melanjutkan saja, "Kamu setidaknyata itu, kamu tahu? Bahkan aku nggak tahu apakah keputusanmu malam ini datang mengunjungiku adalah keputusan yang kamu inginkan dengan penuh kesadaran. Jika kamu datang hanya karena sesuatu yang pernah kuberikan untukmu maka pergilah, urusan kita sudah selesai." mataku terasa panas dan aku setengah mati mengerjap menahan agar tidak ada yang bergulir jatuh dari kedua mataku. Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. Dia mendadak menepikan mobilnya, dan detik berikutnya yang bisa kuingat, ia sedang berusaha merengkuhku.

"Thalia..." ujarku pelan. "Kamu ini pacar orang.." dan dengan kalimat itupun aku tetap menyangkal kenyataan di depanku. "Aku--,"

"...aku tahu. Dan aku juga tahu sudah ada orang lain yang menyayangimu sekarang. Tapi untuk kali ini aja, ya, tolong jangan membicarakan dia, jangan membicarakan siapapun." Suaranya teredam namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa maumu?" tanyaku lugas, ketika dia akhirnya melepas pelukannya untukku. Sayang sekali pelukan itu tidak bertahan sedikit lebih lama lagi, pikirku getir. "Aku nggak bisa begitu saja bermesraan dengan pacar orang di dalam mobil disaat pacarmu mungkin sedang mengkhawatirkanmu! Dan juga orang lain--mungkin saja ada orang lain yang sedang mengkhawatirkanku!"

Ia tertawa terbahak-bahak, lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya dan meletakkannya ditanga ku. "Bacalah. Hanya itu yang selama ini bisa dilakukan oleh kekasihku, jika kamu ingin tau." nadanya mengejek, namun aku mengenali rasa frustasi di dalamnya. Lalu ia menyalakan mulai mengemudikan mobilnya kembali dan memberiku waktu membaca konten pesan singkatnya.

Lagi apa.....
sedang dimana.......
Sudah dirumah atau belum
Lagi apa.......
Jangan lupa....

Dan begitulah isi pesan-pesan singkat yang bisa kubaca, semuanya bernada membosankan bagi siapapun yang kedapatan membacanya. Aku mendongak dan menatapnya. "Nah." Ujarnya pelan, entah untuk apa.

Sesuatu mengiris-iris hatiku ketika aku melihatnya menyetir dengan pandangan putus asa, yang mati-matian berusaha ditutupinya dengan mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti alunan lagu dari radio.

"Sayang sekali aku bukan dia ya." Jawabku pelan.

Aku tidak pernah melihatnya bersedih, namun hari ini ia mendapatkan pengecualiannya. Barangkali refleks, ia kembali menepikan mobilnya dan menangis sesenggukan di atas kemudinya. Hal yang sangat langka untuk dilihat, namun aku toh tetap tidak bisa melakukan apa-apa.

"Dia temanku, Thalia. Apa yang sekiranya akan dia rasakan ketika tahu kekasihnya juga menyanyangi salah satu teman dekatnya?" gumamku pelan, lebih untuk diriku sendiri.
Yeah, sadarkah kamu apa yang sedang kamu hadapi?

Setelah kukira tidak bisa lebih lama lagi, ia mendongak dan mengusap air matanya dengan tergesa. "Aku harus mengantar kamu pulang." Suaranya terdengar serak.

"Nggak apa - apa." ujarku mengalihkan pandangan lagi ke jendela sembari ia melajukan mobilnya. "Aku nggak masalah menemanimu...menangis." gumamku.
"Maaf..." ujarnya, tangan kirinya mencari-cari tanganku lagi dan menggenggamnya erat. Dengan arah laju yang tidak menuju ke arah rumahku sama sekali, aku mengerti bahwa semesta memberi satu malam lagi kesempatan bagiku untuk bisa menikmati malam bersamanya.

Dan biarkan saja berlalu seperti itu.

Maret 2016
-junk

Senin, 26 September 2016

M : "Kamu tahu kan, dalam proses melepaskan, kau seharusnya melepaskan kenangan kebersamaan dengan orang itu, alih-alih melepaskan sosok orang yang bersangkutan."

N : "Mengapa begitu?"

M : "Karena seperti yang banyak orang bilang, terkadang yang kita rindukan bukanlah sosok orang tersebut, tapi kenangan-kenangan peristiwa yang pernah kita lalui bersama orang tersebut."

N : " Begitukah?"

M : "Oh ya, tentu. Karena jika sekarang aku diberi kesempatan yang sama untuk mengulang kenangan-kenangan itu bersama dia saat ini, aku tidak yakin akan mau melakukannya. Maksudku, yah, aku merindukan dan menginginkan kenangan yang sama. Tapi aku tidak yakin apakah aku mau menjalaninya lagi dengan orang yang sama untuk saat-saat ini."

N : "Yah, semua akan berubah pada waktunya, bukan?"

M : "Benar, dan perubahan itulah yang akan membuat kenangan-kenangan tersebut jadi semakin berharga untuk dilupakan. Maka kau tahu, melupakan sosok adalah perihal mudah, orang-orang baru akan mampu mengganti sosok-sosok lama dengan cepat. Namun sesungguhnya, melepaskan kenangan adalah hal yang sangat sulit dilakukan."

-junk

Senin, 19 September 2016

Vasumathi

~3AM  in Jakarta baby
I don’t wanna think
I don’t wanna feel
Late night thoughts of you
Late night thoughts of me
I just wanna drink
to get you out of me~~

Aku melirik dia yang mengendalikan setir, sambil sesekali menyanyikan beberapa penggal lirik lagu favoritnya. Aku tersenyum. Seseorang di sebelah kananku ini selalu dapat membuatku tersenyum, apapun segala keabsurdannya.
Hening yang cukup lama terpeta di antara kami berdua. Mungkin karena aku yang sedang berkonsentrasi menikmati keadaan ini, atau dia yang sedang berkonsentrasi menghadapi macet yang terhampar di hadapan kami. Sesekali ia mengeluh, sesekali ia tertawa mendengar gurauan penyiar radio yang telah menggantikan suara lagu tadi.
Lalu dengan begitu saja, kami berpandangan. Kami berpegangan. Dia terdiam melihatku--entah, barangkali mengamati warna lipstik baruku. Aku terdiam terpejam, mengendus wangi parfum lembutnya yang selalu menyeruak tanpa permisi, selalu membuat candu. Dan rindu, tentu saja.

"Apa kita benar benar harus pulang malam ini?" tanyaku.

Dia terkekeh. "Tentu, aku bisa mengantarmu pulang kerumah dan kau bisa mempersiapkan diri untuk kuliahmu besok.", lalu ia mengerling padaku sembari memindahkan tangan kirinya dariku untuk mengganti persneling. "Atau kita bisa pulang ke tempat lain malam ini dan persetan dengan segala kewajibanmu besok. Apapun maumu." Jawabnya tak ayal membuatku tergelak senang jauh di dalam hatiku.

"Kita bisa....." dia sudah membungkam bibirku dan melumat habis kata-kata yang hendak kuucapkan. Nyatanya, toh tak perlu kuucapkan.
Yeah, kupikir aku tahu bagaimana malam ini akan berakhir.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Rasanya sudah lama sekali sampai aku bangun dari sisi tempat tidurnya. Aku mendudukan diri dan melihat jam merah di atas nakas. Pukul tiga pagi lewat sepuluh menit. Aku tertawa dalam hati, dan sedang apakah aku kini, batinku getir. Tak lama ponsel silver yang bersisian dengan jam tadi bergetar berkali-kali, sedang pemiliknya hanya tetap acuh tidur. Aku melirik layarnya yang menyala sekilas. Dari kekasihnya. Namun cukup itulah yang kubaca, tak perlu kutahu apa isi pesannya. Lagipula aku toh bisa menduga kira-kira isi pesan bernada khawatir seperti apa yang biasanya dikirimkan oleh kekasihnya. Aku melirik kebelakang. Seseorang itu masih tertidur dengan damainya, dan barangkali akan tetap seperti itu hingga sinar matahari pertama muncul nanti. Maka kuambil sebungkus rokok dari dalam tasnya dan beranjak menuju balkon kamarnya.
Tidak ada yang benar-benar bisa dinikmati dari pemandangan kota kecil dini hari seperti ini. Nyala redup lampu perkampungan, beberapa pemuda yang keluar masuk rental play station dekat situ, dan bulan yang berbentuk penuh. Bulan emas tanpa satupun awan hitam menyebrangi pendar cahayanya. Vasumathi....ujarku pelan. Paru-paruku sibuk memproses racun yang kuberikan dengan sengaja, sementara otakku berkelana kemana-mana.

Sedang apakah?

Ketika kupikir aku akan mati karena kekosongan yang tak searah dengan isi kepalaku yang sedang riuh, pintu dibelakangku berderit membuka dan ia menyusul duduk dilantai bersebelahan denganku. Tanpa kata, ia mengambil sebatang rokok dari bungkus yang tergeletak begitu saja di depan kami. Ia menoleh mencari-cari sesuatu hingga akhirnya menemukan gelas air mineral kosong yang ternyata digunakannya sebagai tempat sisa abu.

"Bulannya bagus ya?" tanyanya, berjawabkan hening. "Aku tidak pernah tahu kau juga suka memandang bulan. Biasanya kau selalu ribut jika melihat banyak bintang berkerlip dilangit." lanjutnya.

Tapi tidak satupun ada bintang di langit yang terlihat kali ini, Aku bersuara dalam hati dan menghembuskan asap perlahan, seakan dengan demikian kata-kata tak terucapku bisa ikut terlontar keluar.

"Bulannya bagus..." ujarnya lagi. Lalu dia menginjak sisa bara rokoknya dengan sandal ruangannya hingga padam sebelum akhirnya memasukkan puntungnya ke dalam gelas plastik tadi. "Kalau melihatmu melihat langit dengan intensitas yang sebanding dengan kecepatanmu merokok seperti ini, aku jadi penasaran siapa yang sedang kaupikirkan saat ini." tanyanya, kali ini menoleh memandangku.

Giliranku menoleh ke arahnya. Aku tersenyum, lalu mengangkat bahu. "Mengapa kau harus tahu?" Jawabku.

Ia terkekeh. "Tidak. Kupikir aku sudah tahu. Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu, kau tahu?"
Diam yang cukup lama, hingga ia menambahkan lagi. "Menurutmu apakah dia melakukan hal yang sama denganmu?".

Kali ini aku memandangnya sepenuhnya."Aku tidak tahu. Dan itu tidak penting."
"Apakah menurutmu kekasihmu juga memikirkanmu sebesar kamu memikirkannya? Oh jangan menyangkal--" cetusku ketika melihat gelagat ingin membantah darinya. "--aku tahu kau memikirkannya jauh dibalik ketidakpedulianmu pada pesan singkat yang dikirimnya." tambahku.

Ia diam sebentar sebelum melanjutkan. "Dia hanya bisa mengirimiku pesan singkat, tak lebih. Apa menurutmu aku terlihat membutuhkan banyak pesan singkat?".

"Tidak." Jawabku jujur. "Tapi setidaknya dari pesan singkat itu kau tahu bahwa dia memperhatikanmu. Dan ehmm...menyayangimu, tentunya."

Ia tertawa getir dan menggumamkan kata-kata yang sekilas bagiku terdengar seperti 'apa gunanya'.

Aku kembali menyandarkan punggungku ke tembok luar kamarnya. Pembicaraan seperti ini jelas bukan pembicaraan yang pantas untuk dibicarakan di waktu pikiran kami seharusnya sedang ditenangkan.

"Bulannya bagus ya? Pernah tidak terpikir untuk benar-benar bisa berada dekat dengan bulan dan menikmati segala cahaya, peri-peri yang hidup disana, dan apapun yang mungkin ada di dalamnya?" ujarku. "Aku ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh kehidupan di ruang angkasa dan segala pendar cahaya itu."

Ia mendengus pelan. "Yah, dan tubuhmu akan terbakar tepat menjadi serpihan tepat setelah kau meninggalkan bumi." ia berujar pelan menambahkan, "Tapi kau benar, setidaknya memandang langit seperti ini memang....sedikit menenangkan."

Aku tertawa jika ia kembali pada pemikiran realistisnya namun menyemburkan kegetiran yang sama kepada sanggahan realistisnya sendiri.

"Hei, aku seorang Leo, aku memang ditakdiran untuk sedikit dramatis!" tawaku sambil turut menertawakan diriku sendiri.

"Kau tidak akan ke jakarta lagi dalam waktu dekat ini?" Tanyanya membuatku terdiam dengan perubahan topik yang mendadak ini. "Biasanya kau selalu mengoceh tak keruan mengenai kota itu. Sepertinya kita memang memiliki masalah yang sama dengan kota-kota dimana kita tidak seharusnya berada ya." kekehnya pelan.
Aku hanya mengangkat bahuku.

Aku tidak tahu, sungguh. Kota itu terasa abstrak bagiku kini. Rasanya seperti berada dalam kilasan mimpi. Dan tidakkah kaupikir, sudah seharusnya aku mengakhiri segala mimpi dan kegilaan semu ini? Entahlah.

~I forget Jakarta
Leaving all the lunacy behind
This time give me back my sanity~~

Dering alarm dari ponsel di saku kananku berdengung hebat, menandakan pukul lima pagi telah tiba. Kami berdua memandangi nyala layarnya dengan penuh minat seakan benda tersebut adalah mikroba yang dijejalkan dibawah lensa mikroskop.

"Kita harus tidur." Ia memecahkan keheningan.

"Aku harus kembali kerumah." Ujarku pelan. Ketika ia menoleh dengan mengernyit, aku menambahkannya dengan tersenyum. "Kuliahku, ingat?"
Dan iapun mengangguk maklum.

"Hei, terima kasih." ujarnya saat kami kembali ke dalam kamar. "untuk malam ini. Anggap saja kau telah menemaniku."

Aku tersenyum. "Aku memang menemanimu." jawabku.

Ia berdecak. "Kau tahu apa maksudku. Bisakah kita melakukan hal seperti ini lebih sering lagi?".

Aku terdiam sebentar. "Oh entahlah. Hal-hal langka yang menyenangkan seperti kesempatan malam tadi rasanya tak akan betah sering-sering menghampiriku." aku merapikan isi tasku. "Tapi tentu saja kita bisa melakukannya jika kau mau. Dan jika kekasihmu tak memergokimu, pastinya." tutupku sambil mengecup kilas bibirnya.

"Perlu kuantar?" tanyanya ketika kami tiba di tangga lantai satu rumah kostnya. Aku menggeleng, dan menyorongkan nyala layar ponselku, menginfokan bahwa aku akan menggunakan jasa transportasi online untuk mengantarku pulang. Maka ia hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan.

"Hati hati di jalan, Mika." tutupnya sambil mengangkat tangannya, mengajakku untuk tos.

"Tentu, kau kembali tidurlah. Selamat beristirahat, Thalia.Terima kasih untuk malam ini."

~ We'll forget Jakarta
Promise that we'll never look behind
Tonight, we're gone to where this journey ends~~

****************--------*************

Monicnicta. Sep8th16. 11.30. Ruang kelas Eloquent reading. I 'm doomed if my lecturer see me making this kind of literature instead of  interpreting some old poetry.

Sabtu, 03 September 2016

Banyak banyakin

Banyak banyakin bersyukur, Nic...jadi bisa ngerasain empati ke orang lain.
Banyak banyakin belajar, Nic...jadi kalau teman butuh saran, jangan cuma bisa bilang "wah, gue nggak tahu itu kaya gimana".
Banyak banyakin introspeksi, Nic...jadi bisa meninggi kalau emang sudah ahli.
Banyak banyakin ...yang emang diperlukan.
-junk

Kamis, 01 September 2016

My sweet little cousin

(Who is not so little anymore)

*arrived at home*
Me : "Eh evan, mbak Monic pulang yah besok."
Evan : *quiet for seconds*
Me : *teasing* "Oke deh. Byeee."
Evan : *still didnt say anything* *head held down*

about an hour later while he has been sleeping

Evan : *suddenly awaken* *go down to my bed under his bed* *whispered so so sooo softly* "Mbak monita janan pungang......"  *he said that and rubbed his eyes
Me : ........................

GUE TERENYUH DENGERNYA JIRRRR :'(((

This is
The very first time
I knew that someone might be feel really sad when I'm no longer beside them. Because...well....who's willing to be awake in the middle of their sleep just to say "jangan pulang"........
...

At first I thought a three-year-old boy wouldnt understand and wouldnt give any shit to (such) farewell.
But well...he's all grown up.
He understands the meaning of "pulang" and "good bye" already.
And it makes me feel sad because I know it will be harder for me too -__________-

I didnt find any good in good byes though.
Maybe not even yet.
:'(

-junk

Minggu, 28 Agustus 2016

#13HariMerabaLuka

Mengapa 13?
Karena 13 adalah angka keberuntungan, tergantung bagaimana kamu menanggapinya.
Karena 13 adalah tanggal - tanggal peristiwa berharga yang pernah terjadi di timeline hidup saya, sejauh saya tak ragu mengingat.
Karena 13 adalah urutan abjad inisial nama dimana orang-orang memanggil saya
Karena 13, lebih dari sekedar angka sial yang harus dihindari.

Karena 13, saya suka kamu.

13 hari, menulis apa saja. Merasakan apa saja.

Aug282016

Jumat, 26 Agustus 2016

Siapa

Gue beberapa kali jatuh suka (tidak ingin menyebut 'cinta' karena itu adalah kata yang membutuhkan tanggung jawab besar) pada beberapa tulisan orang orang di media sosial massa.

Kemarin saya menemukan sebuah blog tumblr (dan tulisan di foto yang terlampir) yang menurut saya sangat menarik kontennya, namun sayang saya tidak bisa menjangkau siapapun dia penulisnya, karena dia sangat anonim sekali dan susah dicari :')
Untuk siapapun yang mengenal bulangerimis, tolong kenalkan saya padanya :')

-junk

Jumat, 12 Agustus 2016

Bagaimana jika....

"Mengapa sih, kau begitu menyukai kota Jakarta?"

Kemarin malam, salah seorang temanku--tidak, sepertinya tidak cukup bisa dibilang teman karena aku baru mengenalnya selama beberapa hari di kota ini-- kenalanku menanyakan hal ini.

"Mengapa aku begitu menyukai kota Jakarta? Entahlah aku juga tidak terlalu tahu." Jawabku sambil menghembuskan asap rokokku--rokoknya yang dibaginya bersamaku. Dia masih menatapku dengan penuh tanda tanya, mungkin aneh baginya mengetahui fakta ada beberapa orang, aku salah satunya, yang begitu menyukai sebuah kota--yang bagi orang lain dianggap tempat yang tidak cukup baik.
Aku mengendikkan bahuku. Kenyataannya, aku juga tidak pernah tahu mengapa aku bisa menyukai kota itu. Jelas bukan kota yang terbaik ataupun yang ternyaman yang pernah kudatangi (memang tidak banyak kota yang pernah kudatangi, namun tetap saja).

"Mungkin kau hanya belum menjelajahi tempat dan kota-kota baru yang lebih asyik saja. Masih banyak kota yang berpenampilan bagus diluar sana, kau tahu?" tanyanya lagi, masih penasaran.

Aku menatap ke arahnya pelan. "Aku tidak membicarakan penampilan sebuah kota, kau tahu? Aku juga tidak tahu bagaimana, namun setiap kali aku berada di kota itu aku merasa....nyaman? Aku merasa aman, seperti aku berada dirumahku sendiri, meskipun mungkin kenyataannya tidak seperti itu dan meskipun aku tidak mempunyai urusan apapun yang berhubungan dengan keluargaku."

"Hei, Jakarta kota yang jahat kau tahu? barangkali kau belum pernah mengalaminya sendiri!" Ia tertawa pelan, membuatku tersenyum.

"Mungkin. Kau menyumpahiku, ya?" tanyaku separuh bercanda. "Lagipula, buat apa berkonsentrasi pada sisi buruk sebuah hal yang kau sukai jika kau bisa mengalami sisi yang lainnya?"

"Kau bilang kau menyukai banyak gedung-gedung tinggi yang bercahaya di malam hari. Barangkali itu alasanmu menyukai kota itu?" Ia masih bertanya.

Aku tergelak sebelum menjawabnya. "Hei, aku tidak tinggal di desa antah berantah, oke. Di kota asalku juga terdapat hal-hal seperti itu, namun tetap saja terasa berbeda." Aku menggelengkan kepalaku perlahan. "Entah..."

"Aku tetap tidak paham." Ujarnya sambil menjejaskan sisa rokoknya diatas sebuah gelas kaca yang malam ini kami alih fungsikan sebagai asbak, dan segera ia memantik rokok lainnya dengan cepat.

"Tidak ada yang bisa memahami hal ini. Begitupun aku. Ini seperti semacam permainan emosi, kau tahu?" Jawabku.

Kami berdua terdiam cukup lama, berkonsentrasi pada asap rokok yang menguar dari mulut mulut kami.

"Lalu kapan kau akan ke Jakarta lagi?" tanyanya setelah hening lama yang menyenangkan.

"Aku tidak tahu. Itu kota yang dekat, sebetulnya. Namun semakin lama rasanya semakin sulit di jangkau." Aku mengambil sebuah rokok baru, memantiknya, lalu menatap seseorang di depanku ini. "Aku takut jika suatu hari nanti, entah karena kesibukan atau apapun, akan menjadi semakin jauh keberadaanku dari kota itu dan aku mulai melupakannya. Melupakan rasa aman itu, melupakan hal-hal menyenangkan disana, melupakan detail-detail kecil di dalamnya. Bagaimana jika suatu saat aku lupa, disaat hingga detik ini, aku sama sekali tidak ingin lupa?"

-junk
Agustus 2016

Rabu, 03 Agustus 2016

Wondering

https://youtu.be/xDBXFnKb1F0

This songs haunting me hardcorely these past few weeks.
I hate to wake up every morning listening to this song and feeling weak all over again.
But well, making yourself suffer is one addictive thing, huh?

-junk

Selasa, 02 Agustus 2016

Ssup, J?

*gue bangun dengan rasa yang sangat nggak enak -_____- njir 💩

Oh my God, Jakarta...what's up?
Been a long time.
You know it's such a burden to be here but not allowed to be there also.
Hh.
Talked a lot about Jakarta and rooftops hit me that hard though.
Wondering why.
I'll see you again. Maybe. Sooner as I can.
:'((
p.s ignore the last chat -_____-


Senin, 01 Agustus 2016

Sleeping pills

I've got lots of bad things and bad days lately. If lately means since two years ago then yeah.
But this night from this two is another thing. You know, a little greet that popped up in a sudden from someone that matter and used to be to you is such a chill.
Hehe.
Half happy-half full of hate.
Happy to got em.
Hate to feel dizzy recently.
Panadol wont heal and im afraid to buy some xnx again. Feels like I need to ask kak rifka for this one.....
Have to say sorry to my parents cuz im constantly ruining my own body.
:'(

Anyway,

I hate to wait, but...thank you. For your existance this night. 

Like really...if I could make some record and send it to you then I will.

And hello, welcome back, dude.  Long time no talk like really.

P.s but dont worry Miss, no one could replace you though.
So far.

Rabu, 27 Juli 2016

Im sorry for being a proud #leo

What's yours?

Jogja Dini Hari

Aku melangkahkan kaki menuju salah satu sudut di koridor penginapan ini. Pukul dua dini hari, menurut jam di pergelangan tangan kananku. Setelah lelah seharian ini, seharusnya aku tidur. Atau setidaknya beristirahat, sekedar merebahkan tubuh. Alih-alih, aku beranjak dan duduk menyandarkan punggung di depan pintu kamar penginapanku, disaat semua temanku sudah tertidur.
Aku belum ingin tertidur. Aku tidak ingin tertidur. Malam ini terlalu sia-sia jika dilewatkan hanya untuk tidur.
Aku menyulut rokokku dan mengamati sekitar. Jalanan sepi Sosrowijayan di depanku masih terlihat basah karena sisa hujan sesiangan. Beberapa lampu kekuningan di sudut sudut jalan menambah temaram suasana. Udara dingin menyengat, gemeletuk meski sebatang rokok masih membara di jemariku. Beberapa pedangan asongan dan tukang becak sesekali lewat, barangkali mereka selesai berbenah dari keramaian malam minggu di daerah Malioboro tadi. Di sisi lain daerah penginapan ini, entah di sudut sebelah mana, alunan musik disko terdengar meretih dari kejauhan dan sesekali, terdengar suara tawa sayup orang-orang yang penuh canda.
Aku menghembuskan asap rokokku perlahan-lahan. Hampir pukul tiga dinihari. Aku menghembuskan asap rokokku lagi.
Jogjakarta belum pernah terasa sesendu ini. Dan aku belum pernah merasa serindu ini.
Rindu yang menggumpal dan menunggu masanya untuk meledak dan menjadi serpihan.

Dimanakah kamu?

Sedang apakah kamu?

Apakah kamu sedang bersama dia, yang juga kukenal dengan baik itu?

Getir asap rokok dan kelegaan melebur menjadi satu. Aku seperti melihatmu dimanapun aku berlari di kota romantis ini sesiangan tadi.
Pelarian... senyumku, juga dengan getir. Lagi-lagi aku terus berlari. Tidak ada rasa nyaman seharian ini. Mungkin karena aku bisa berbohong kepada oranglain, tapi tidak kepada diri sendiri.

Tidak cukup lelahkah?

Aku kembali menyulut sebatang rokok, untuk yang kesekian kalinya, menghamba pada ketenangan yang semu. Sejenak membaur dalam sudut sepi di kota ini. Sepi...atau justru keramaian yang tersirat?
Jogja dini hari dengan rasa dingin yang tak mampu dicairkan.
Mau sampai kapan kamu berlari?
Pertanyaanku menggema. Hanya kesunyian lewat tengah malam yang mampu meredakannya sesaat.
Payung Teduh - Kucari Kamu

Kamis, 14 Juli 2016

Setahun

Kadang, gue amazed sama betapa setahun yang baru cepat sekali berganti.

rasanya kaya baru kemaren.

Hari ini sepupu gue merayakan hari ulang tahun ketiga-nya. Satu tahun yang lalu, gue ada di Jakarta dan merayakan ultah kedua dia. Gue masih ingat semua detailnya dan again, rasanya kaya baru kemaren
......
Sekitar setahun yang lalu gue nemenin sepupu gue potong rambut yang lalu dengan bangganya dia selalu mendeklamasikan bahwa dirinya ganteng setelahnya. Hihihi.
.......
Sekitar setahun yang lalu, wah, that was for the first time I tried  metromini and transjakarta.
.......
Sekitar setahun yang lalu, gue kaya anak ilang masuk ke beberapa cafe di Jakarta cuma buat beli secangkir kopi dan mengabadikan beberapa gambar di dalamnya.
.......
Sekitar setahun yang lalu, gue sangat pengen tahu tentang Jakarta tanpa harus melibatkan tante-tante gue lagi. Jakarta, kota berisik favorit gue.
........
Sekitar setahun yang lalu, ada kebakaran di salah satu sudut menara BCA, hahaha.
.......
Sekitar setahun yang lalu, Blok M adalah zona aman gue. Hahahaha.
.......
Sekitar setahun yang (lebih sebulan, hahaha) lalu, waktu gue mau balik ke Semarang, gue duduk di teras samping sore-sore...sindrom nggakmau pulang. Gue baru aja balik dari Blok M dan Evan, sepupu gue, nemenin gue sore itu. Gue duduk sambil dengerin lagu dan Evan mainan tanah dicungkil-cungkil. Gue bilang, "Van, besok Mbak Moniti (he called me that way at that time) pulang ya,". Gue nggaktau apa anak umur dua tahun kaya dia udah paham apa arti perpisahan dan 'pulang', tapi terus abis itu dia nyusul duduk di sebelah gue dan bilang, "Besok tetini (kesini) lagi ya? Nanti main, main ama Evan." jawabnya pake logatnya. Gue iya iya aja sih. Terus kita duduk gitu sampai maghrib, sampai Evan khatam digigitin nyamuk dan kita berdua dimarahin oma karena nggak masuk-masuk. Hahaha.
Kalau dipikir-pikir, nggak penting banget sih begitu. But somehow, I dont know how, this little man comfort me in the way other adult people can't do. Bukan chat basa-basi, bukan alay-alayan sampai tengah malem. He just sit. Sometimes he leaned on me, asking me to took a selfie.
Gue nggaktau deh ini, mungkin melancholy strike karena gue lagi disini sekarang dan nggak bareng sama Evan disana.

Like really....rasanya kaya baru kemaren.....

Gue tadi siang nelpon Evan ke nomernya Abel, and again he said, "Onita? Ketini ya? Kapan ketini?"
:'(
........
Satu tahun lagi bakal terlewati dengan cepat.
Bakal banyak (sekali) yang berubah hingga bertemu setahun yang akan datang, tentunya.
........
Sampai berjumpa di tahun yang akan datang, kalau semesta mengizinkan.

- junk

Happy birthday, My dear. You know we love you.

Jumat, 08 Juli 2016

Tiga kali hari raya terlewati dan kamipun ternyata masih belum bisa lupa.
Tiga kali hari raya terlewati dan baru kali ini kami bertukar maaf dengan tulus, mungkin karena aku menyadari dengan benar kesalahan-kesalahanku terhadapnya, entah bagaimana dengan dirinya.
Tiga kali hari raya terlewati dan aku selalu bertanya, "Should we end this?" Dan jawabanmu akan selalu sama, "Not yet, not now."
Tiga kali hari raya terlewati dan aku baru bisa mengingat bau parfummu dengan jelas.
Tiga kali hari raya terlewati,
Dan butuhkah melewati lama tiga kali hari raya untuk sekedar mengetahuinya?

-junk

K.a.r.m.a

Tiap kali denger atau baca kata "karma" what comes up to your mind?
Gue, jujur, dulu selalu menganggap bahwa Karma adalah cara semesta membalaskan dendam gue terhadap seseorang (atau sesuatu)-- yang kalau gue beruntung, gue bisa melihatnya (atau mengetahuinya).
It was then, until I read this post from Nadya Julia below. Fyi, Nadya Julia ini penyiar radio. Sejak SMP, nggak tau gimana dan kenapa, gue suka banget denger radio dan itu menuntun gue untuk menjelajah akun-akun media sosial mereka. Nadya Julia ini adalah salah satu idola gue (selain nastasha abigail dan ayumi fcourse) hehehe.
Trivia : her voice are amazingly calming.

http://nadyajulia.tumblr.com/post/146555848171/karma-apa-itu-karma-gue-dulu-mikir-karma-itu

It change my perception, a lot, though.
Well, despite bener atau enggaknya, itu ada benernya sih.

So yeah.
Sometimes it felt good to be bad. Of course I already am a bad person, tapi gue berpikir, maybe there's a time I can (and I should) trully care-less and being superbad about everything (when rrthang around me are bad,too. Yeah whatever you call me now) and dont have to think about the consequences and so on and so on.

Well, let Karmas come to me, or to every one.

-junk

Senin, 27 Juni 2016

Kopi Hitam Petang Hari

Saya tidak suka kopi hitam.
Dan kopi hitampun rasa-rasanya memiliki pendapat yang sama dengan pernyataan saya; rasanya tidak akan bisa diterima dengan baik oleh lidah saya, tidak peduli semahir apapun tangan yang meraciknya.
Tapi belakangan ini saya suka meminum kopi hitam. Bahkan, menghirup aromanya setelah sesaat dibuat, diantara kedua tangan yang saya katupkan di sisi sisi gelasnya, meskipun tentu saja rasanya tidak akan pernah sejalan dengan cecap lidah saya.
Saya membiasakan, lebih tepatnya.
Mengapa begitu?

Kopi hitam memiliki rasa yang pahit. Saya tidak suka rasa pahit. Kami adalah kutub yang saling tolak menolak. Namun saya tetap memilih meminum minuman yang biasanya hadir sebagai opsi terakhir saya saat berkunjung ke suatu tempat. Karena saya tidak ingin merasakan kenyamanan dari rasa manis. Kenyamanan adalah candu dan ketergantungan adalah bahaya.
Minuman lain akan memberikan kenyamanan bagi lidah saya, dan rasa itu tidak baik. Rasa nyaman membuat lidah saya memilih, bergantung, menuntut dan hancur apabila tidak terpenuhi. Maka saya memilih kopi hitam. Agar menghindarkan lidah saya dari ketergantungan.

Black coffee is the sadist.
And i'm the masochist.

Kita tidak perlu belajar untuk saling menyukai dan menerima satu sama lain. Biarkan apa adanya rasanya.  Biarkan kami saling bertolak belakang dengan penerimaan kami masing-masing.

Now playing : Jaymes Young - I'll be good

-monicnicta. Sore tadi, 2016

Jumat, 24 Juni 2016

Tidak ada Jakarta hari ini

Tidak ada Jakarta hari ini
Ataupun besok
Tidakpun juga bulan depan
Tidak ada kelip lampu jalan, dengung klakson, dan asap yang bergerombol
Tidak ada Jakarta hari ini
Tidak ada aku yang berlari kesana
Dan tidak akan ada kamu yang berlari kemari
Tidak akan ada kekacauan lagi
Tidak ada Jakarta hari ini
Tidak ada perjalanan pahit kopi, tidak ada percakapan seberang kampus sunyi, dan tidak ada Galang Rambu Anarki

Tidak ada Jakarta hari ini
Aku ketakutan.
Siapa berlari untuk siapa?
Dan siapa pergi untuk siapa?
Tidak ada Jakarta hari ini
Barangkali kota ini ikut muak dengan tingkah laku manusia - manusia ini
Barangkali ia tidak lagi merasa cukup angkuh untuk bisa meleburkan kekacauan mereka

Tidak ada Jakarta hari ini
Sudut-sudutnya sudah tak mampu lagi meredakan apa yang seharusnya diredakan
Rasa aman beranjak punah, seiring bertambahnya kewarasan mereka

Tidak ada Jakarta hari ini
Ataupun besok
Tidakpun juga bulan depan
Tidak ada Jakarta hari ini
Lalu kemana mereka harus bersembunyi?

-monicnicta, sedang merasa kesal karena ditinggal liburan dan terancam tidak bisa liburan ditempat yang diinginkan
2016

Sabtu, 11 Juni 2016

Bebat

Surabaya, 27 Juni 2004, 09.40 p.m.

"Brakk!!"
Kirana membanting pintu mobilnya sekuat tenaga dan tak lama kemudian meluncurlah sedan merah itu ke jalanan padat kota ini. Malam belum terlalu larut, pukul sembilan lewat empat puluh lima menit terpampang di penunjuk waktu terpasang di dashboard. Kirana mengemudi dengan gusar, masih terbayang kata-kata ibunya sebelum ia pergi dari rumah tadi. Kata-kata yang menurutnya konyol, dan tak jelas apa sebenarnya tujuannya.

"Mau kemana kamu? Ini sudah malam, nggak baik anak gadis pergi malam-malam seperti ini. Tetangga kita sudah pada tertidur, kamu malah mau kelayapan! Bagaimana kalau mereka mencibir dan menggunjingkan kelakuan kamu ? Bikin orangtua malu saja! Memangnya kamu nggak bisa pergi siang tadi?!"

Setelah melalui debat panjang yang sesungguhnya tak ada titik terang namun berujung pada ultimatum ibunya yang mengatakan bahwa ia akan tidur diluar apabila sampai benar-benar nekat untuk keluar rumah malam ini, Kirana pun angkat kaki dan disinilah ia sekarang, menembus jalanan kota Surabaya yang masih diisi hiruk pikuk penghuninya .

"Beneran deh," ujar Kirana sinis sambil menyulut rokoknya. "Nggak harus pulang kerumah. Hmmm...mending tidur di rumah Sarah aja ah, ntar."

Sarah adalah teman dekat Kirana di kampusnya, dan sesungguhnya, Kirana dan Sarah memang berniat menghabiskan malam minggu mereka ini dengan beredar di RedboXX, diskotik langganan mereka.

"Halo? Iya, Sar. Ini udah berangkat, biasalah tadi ribut dulu dirumah.  Udahlah nggak usah dipikirin. Nyokap gue bakalan aman aman aja kok dirumah. Lagian dia lebay banget, masa gue tiap main suruh balik jam sembilan mulu!  Hah?! Iya, iya, sabar kenapa? Lagian juga masih jam sepuluh. Masih kesorean nih!" Celetuk Kirana lewat telepon, dan segera mereka berdua terkekeh mendengar kalimat terakhir percakapan itu.

"Okay, bye, see ya there." Tukas Kirana memutus percakapannya di telepon.

***********************
Surabaya, 28 Juni 2004. 03.07 a.m.

Kirana mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal yang ia mampu dengan kondisi kepala yang terasa berputar-putar.
Sialan, Sarah. Katanya mau ngajak balik bareng, malah balik ama cowok nggak tau siapa. Terus gue balik kemana nih? Pikir Kirana. Ia tidak terpikir sama sekali untuk pulang kerumahnya. Bisa ribut lagi di rumah, begitu pikirnya. Lagipula, bau alkohol dan asap rokok menyeruak keras dari semua sisi tubuhnya, bisa jadi bukan hanya ibunya, namun ayahnya yang pemarah itu ikut menghajarnya.
Karena desakan pusing dikepalanya dan dentaman musik yang tak hentinya dari dalam mobilnya, Kirana pun hilang fokus. Ia tak menyadari adanya truk panjang yang melaju berpotongan arah dengannya. Panik dengan lampu dim truk yang dinyalakan tanpa henti, Kiranapun menginjak tuas gas semakin dalam dan membanting setir ke sembarang arah.
Kaca depan mobil yang pecah adalah satu-satunya hal terakhir yang dapat diingatnya.

**********
Surabaya, 28 Juni 2004 03.13 a.m.

Kirana mengeluarkan tubuhnya dari mobil merahnya yang ringsek. Ia mengernyit memandang kekacauan di sekitarnya. Gue tadi nabrak apaan sih? Kok sepi gini? Gumamnya pelan. Ia juga heran mengapa ia gampang sekali keluar dari himpitan ruang kemudi mobilnya, disaat kondisi mobilnya sudah ringsek tak karuan.
Kirana menggeleng mengutuki kejadian di hadapannya. Padahal udah mau deket rumah, juga! Gerutunya sambil menepuk kepalanya. Aneh, pusing di kepalanya berangsur menghilang. Ia bahkan seperti tak merasakan apa-apa. Ia memeriksa body mobilnya sekali lagi. Ck, harus ke bengkel nih gue. Eh, apa ke kantor polisi dulu ya? Mumpung deket sini kayaknya ada pos polisi, deh. Lalu Kiranapun berlari, atau setidaknya, itulah yang dia rasakan. Sebenarnya, letak pos polisi itu cukup jauh dari tempat kejadian, tapi Kirana berlari dengan enteng saja.
Tiba di pos polisi, Kirana melihat dua petugas sedang berjaga di gardu depan. Dengan tergesa, ia mengetuk kaca ruangan kecil itu. Kedua petugas tadi bukannya menjawab, malah saling menguap dengan bosan.
Orang-orang ini emang nggak pernah bisa kerja bener kali, ya? Gerutu Kirana. Kirana hendak menggedor kaca ruang jaga tersebut saat mendadak seorang petugas lain masuk. "Ada peristiwa bunuh diri di rumah di kawasan Diponegoro, penghuninya ditemukan tak bernyawa dengan sepucuk pistol ditangan kanannya." Demikian lapor petugas yang baru tiba itu. "Dan ada kecelakaan di jalanan dekat stasiun, sebuah mobil sedan bertabrakan dengan truk. Pengemudi truk dikabarkan hanya cedera ringan, sedangkan pengemudi mobil belum dapat dipastikan keadaannya. Tolong segera hubungi petugas yang lain untuk mengurus perkara ini." Selesai petugas itu memberi perintah, dua petugas jaga tadi segera sibuk tak karuan, mengacuhkan Kirana yang menjadi semakin geram.
Namun Kirana sedikit penasaran dengan kasus bunuh diri dengan pistol yang dikabarkan tadi. Para petugas tadi mengatakan bahwa kasusnya aneh, karena moncong pistol yang digunakan berada dalam jarak tembak dekat, namun darah korban tercecer kemana-mana di dalam ruangan kamarnya yang cukup luas.
Kirana bergidik, ia melihat jam di ruang jaga yang sudah menunjukan pukul tiga lewat dua puluh satu menit. Mending gue buruan balik, terus nyuruh Mang Aji buat bawa mobil gue ke bengkel entar deh, putusnya. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya. Disepanjang perjalanan menuju rumahnya, ia sibuk memikirkan tentang kasus bunuh diri aneh yang dikatakan petugas di pos tadi.
Dunia ini memang kejam, namun Kirana tidak pernah sampai terpikir untuk mengakhirinya dengan sengaja. Bunuh diri bukanlah jalan yang tepat, begitu gumamnya setiap saat pikiran itu kembali muncul. Sebenci apapun Kirana pada keluarganya, ia toh tetap saja ingin selalu bersama mereka. Ia tidak pernah siap akan konsep kematian, konsep ditinggalkan ataupun meninggalkan. Baginya, kematian terasa seperti lorong panjang dengan sinar menyilaukan di kejauhan ujungnya, yang sejauh apapun Kirana melangkah, sinar itu tetap tak dapat ia raih. Siapa yang menjamin di dunia mana Kirana akan tinggal setelah jiwanya terpisah dari raganya nanti? Siapa yang bisa menjamin apakah ia masih bisa bertemu bersama kedua orangtuanya di kehidupan kekal lainnya nanti? Semuanya terasa begitu buram. Absurd. Dan Kirana tidak pernah memiliki secuil keinganpun untuk menantang maut.
Kirana tiba dirumahnya. Aneh, tidak hanya mobil ayahnya yang terparkir di depan rumah, namun juga beberapa mobil polisi dan ambulans. Ayahnya memang memiliki hubungan dekat dengan beberapa personil pertahanan negara itu, namun apa yang mereka lakukan dirumah ayah jam segini? Kirana tak habis pikir.  Di halaman rumahnya, keanehan kembali tercium oleh Kirana. Beberapa satpam rumahnya hilir-mudik keluar masuk ruangan dan ayahnya berteriak-teriak tak jelas. Apapun yang diteriakkan ayahnya, Kirana tak mampu mencernanya. Kirana mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah. Ada beberapa petugas berseragam yang duduk di ruang tamu rumahnya, dan ia mengenali salah satunya, yang berjaga di pos yang ia datangi tadi . Kirana mengernyit bingung. Kemana kakaknya dan ibunya? Ada apa sih ini?
Salah satu dari petugas itu berujar dengan pelan, menyatakan penyesalan atas ditemukannya tubuh 'anak bapak', begitu yang ia bilang, yang tewas terjepit kemudi ringsek yang menghujam dadanya.
Selama beberapa menit kemudian, telinga Kirana terasa berdenging dalam upaya kerasnya mencerna kata-kata petugas itu. Tak lama kemudian terdengar teriakan keras bercampur dengan tangisan, saat mobil ambulans di depan rumah Kirana menurunkan muatannya. Karla, kakak Kirana menangis histeris dan merengek seperti anak kecil tak jauh dari tempat Kirana berdiri. Begitupun ayah dan ibunya.
Kirana menatap semuanya bagai menatap kilasan film yang dipercepat. Rasa bingung bercampur kepanikan dan takut  perlahan mulai menjalar kepadanya. Senakal apapun Kirana, ia tetap manusia biasa yang takut akan kematian, sudah seringkali ia mengungkapkan hal itu, dan ia berharap tidak perlu mengalami ataupun melihat kerabat dekatnya dijemput ajal , meskipun ia juga tahu bahwa harapan itu hanyalah berupah kemustahilan.
Namun kini, kembali ke rumah orangtuanya , ia diseret menghadap kenyataan saat menatap Karla yg masih menangis histeris di hadapannya. Demikian juga dengan ayah ibunya. Mereka semua terduduk membelakanginya, namun Kirana yakin, siapa sosok diatas kain putih yang terletak di tengah ruangan itu. Dan benar saja, dirinya, atau sosok lain dari dirinyalah yang terpaku membiru dengan sayatan luka yang telah dibersihkan dan bilur disana-sini. Ia gemetar. Ibunya tak henti menangis dan menyebut namanya, serta mengungkapkan penyesalannya telah membiarkan Kirana keluar dari rumah malam tadi. Kirana tercengang, tak mengira kekurang ajarannya pada ibunya tadi berbuntut menyedihkan seperti ini. Ia terisak ketakutan, ia ingin sekali meminta pertolongan pada ayahnya yang meskipun sering marah tanpa alasan padanya, namun selalu siap membantu apabila ia membutuhkan perlindungan; ataupun berbagi tangis bersama Karla, yang sering mengomel tak jelas mengenai tingkahnya, namun tak pernah menutup tangan saat Kirana membutuhkan pertolongan; ataupun memeluk dan meminta maaf atas kenakalannya kepada ibunya, sekedar mengatakan bahwa ia akan baik baik saja, meskipun ia sendiripun meragukannya.
Tanpa sadar, ia justru berjalan menjauhi kakak dan kedua orangtuanya, seakan ada angin yang menariknya hingga ia tiba di jalanan kompleks perumahannya.
Ia berjalan kalut, kemana ia harus pergi? Sebenci-bencinya ia kepada rumah dimana ia tumbuh dewasa, toh ia tetap selalu ingin kembali kesana. Kepada siapa ia harus memohon sekarang? Sudah tidak ada lagi yang dapat menyatukannya dengan keluarganya yang-jauh dalam lubuk hatinya- ia tahu ia mencintai mereka. Tidak lagi satupun dari mereka yang bisa menolongnya, memeluknya, atau bahkan sekedar mendengarkan ketakutannya.
Ia berjalan linglung. Ia merasa berada di sekitar lingkungan perumahan namun kesepian tercetak dimana-mana menyambutnya. Bahkan daun di pepohonan seperti tak bergerak. malam seakan berhenti bagi Kirana.
Ia berjalan linglung. Kemana ia harus pergi sekarang? ia merasa bahwa keluarganya seakan memberikan lambaian selamat tinggal padanya dari kejauhan. Namun sebagaimanapun ia mencari, semuanya tetap kosong. Gelap tak berakhir. Hanya ada dirinya sendiri disitu, bahkan binatang-binatang malam pun seakan enggan menyapanya. Ia meyakinkan diri bahwa ini hanyalah salah satu dari mimpi-mimpi buruk yang kerap mendatanginya jika ia tertidur dalam keadaan mabuk. Namun ia tidak bermimpi, dan kenyataan itu semakin membuat pikirannya histeris.
Ia berjalan linglung. Kemana ia harus pergi sekarang?

***********************************

-monica amanda , Juni 2016

Selasa, 24 Mei 2016

"Teruslah memaki! lalu sumpahi! Jangan lupa pula dendangkan kata - kata berkarma itu! Namun hati-hati, barangkali setelah ini mereka akan berbalik jalan menuju kepadamu."

2016. Junk.

Jumat, 20 Mei 2016

Part II - sore hari

"Dear, Nona Thalia.
Apa kabar?
Oh, tentu saja ini hanya sebatas kalimat basa-basi pembuka surat. Kita baru saja bertemu tempo hari dan syukurlah kau terlihat sehat-sehat saja.
Begini, aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk tiba-tiba menulis surat ini untukmu, yang kutahu, kini kau sudah tidak merasa terganggu lagi apabila menerima hal semacam ini dariku. Aku senang, sungguh aku sangat senang. Namun, Nona, tanpa kita sadari (atau barangkali hanya aku), banyak sekali permasalahan remeh yang terjadi pada kita belakangan ini, yang membuatku sulit untuk menyalahkanmu secara langsung meskipun aku sangat ingin. Beberapa waktu yang lalu, temanku berkata mengenai mengapa aku tidak terlalu memusingkan diri karena terlihat masih sendiri saja, sedangkan beberapa temanku yang lain merasa tertekan atas masalah mengenai mereka masih sendiri saja. Aku hanya tertawa saja. Maksudku, seberapa penting adanya sebuah status dalam hubungan, Nona? Yah, tadinya sih kupikir itu tidaklah terlalu penting. Sampai akhirnya aku menyadari permasalahan remeh yang datang dari teman-temanku lainnya semacam dimana pacarmu, siapa pacarmu, mengapa kau tidak pernah terlihat bersama pacarmu. Aduh, Nona...memangnya siapa pacarku?
Bergurau, Nona Thalia. Aku hanya bergurau. Jangan cemberut saat membacanya, ya. Hehehe.....
Namun mereka benar, bukan? Saat mereka bertanya dimana pacarku, aku bahkan juga tidak tahu pasti dimana kau sedang berada, atau bahkan bersama siapa. Saat mereka bertanya siapa pacarku, aku bahkan tidak mampu menyebut namamu di depan mereka. Saat pasangan lain mampu mengabadikan momen kebersamaan mereka di media sosial, aku bahkan tidak tahu apalah kita mampu mengabadikan momen kebersamaan kita di kehidupan nyata. Tidak, Nona Thalia, aku tidak iri pada mereka. Aku hanya merasa lelah, tidakkah kau juga merasa lelah membohongi semua orang yang kau cintai selama ini?
Aduh, aku ini terlalu banyak memprotes, ya? Yasudahlah, sebaiknya lekas saja kuahkiri surat ini agar kita sama-sama tidak terlalu lelah memusingkannya.
Jika surat ini nanti tiba padamu, tentu aku sudah berada di kota sebelah untuk meliburkan diri (atau melarikan diri)? Entahlah.
Jaga kesehatanmu baik-baik, Nona Thalia, sampai berjumpa lagi ketika aku menjumpaimu.

Salam
Girindra,"

Girindra melipat perlahan surat yang baru saja selesai ditulisnya, lalu memasukkannya dengan sangat hati-hati ke bagian depan tas ranselnya. Setelah tiba di Yogyakarta nanti, ia akan segera mengeposkan surat itu untuk Thalia. Ia lalu menoleh ke samping kirinya dan mendapati hamparan sawah yang disirami cahaya matahari pukul empat sore. Pemandangan itu mengabur dengan cepat, seiring cepatnya kereta sore yang dinaikinya hari ini. Seharusnya, itu menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi Giri-begitu ia biasa dipanggil. Ia bisa mulai mengeluarkan buku sketsanya dan menggambar apapun ; hirukpikuk di dalam kereta ini, atau pemandangan dari luar jendela tadi, atau bahkan pasangan didepannya yang asik berpelukan seakan kereta ini milik mereka berdua saja. Dalam keadaan biasa, Giri pasti sudah tertawa geli melihat kelakuan pasangan semacam itu. Nyatanya dia kini hanya duduk terdiam sambil memandang keluar jendela, entah apa yang bisa dinikmati dari pemandangan yang bertahan dalam hitungan milisekon itu.
Girindra mendengus kesal. Harusnya kau juga berada disini, Thalia. Harusnya kau ada disini,  gerutunya pelan. Belum apa-apa dan ia sudah merindukan gadisnya itu. Bagaimana ini? padahal tujuan utama ia pergi ke Yogyakarta di tengah-tengah semester padat seperti ini kan untuk melarikan diri sejenak darinya, dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan atau bahkan ditanggapi. Ia terjebak dalam keinginan untuk segera kembali ke kota asal dan keinginan untuk berada jauh dari kota asal selama yang ia mampu. Segala kontradiksi yang terjadi dalam hidupnya selalu tentang Thalia. Selalu karena Thalia. Menyakitkan sekali, namun juga menjadi candu baginya.
Ia kembali memandang keluar jendela. Kali ini pemandangannya adalah perkampungan tepi rel dengan anak-anak kecil yang bermain disinari cahaya sore yang mulai meredup. Kereta berjalan memelan, barangkali ada kereta lain yang hendak lewat bersisian.  Ia menyandarkan punggungnya pada bangku kereta dan mengamati apapun yang ditangkap oleh lensa matanya dengan getir.

Nona thalia, apapun ini...sudah terlalu lama. Cinta ini.....sudah terlalu tua.

*****************************
-junk

Sabtu, 09 April 2016

Part I : Dini Hari


"Kau yakin kau tak akan pulang ke rumah orangtuamu malam ini? Mereka pasti akam khawatir. Bukankah masa perkuliahanmu sudah hampir dimulai dan kau harus kembali ke kotamu besok sore?"
Pertanyaan retoris itu muncul diantara kepulan asap milik kami berdua. Aku mengangkat bahuku tak acuh. Sudah lewat tengah malam dan aku belum berada dirumah orangtuaku, terang saja aku tak akan kembali kesana malam ini. Aku tak ingin membiarkan mereka menghajarku di sisa malam ini, maka barangkali kuputuskan akan pulang besok. Sesungguhnya, sepatah dua patah kata sebagai pertanda kabar dariku bukanlah prioritasku. Lagipula, aku yakin mereka juga tidak akan terlalu memedulikannya, selama yang kulakukan bukanlah sesuatu yang ilegal dan mengakibatkan aku berakhir di penjara dan membutuhkan mereka untuk menebusku.
"Lalu kau akan bermalam dimana? Bukankah berbahaya jika kau bermalam di tempat yang tidak kau kenal dengan baik?" Dia kembali bertanya. Entah atas dasar kepedulian, atau hanya rasa penasaran belaka.
Aku kembali mengangkat bahuku. Barangkali geram dengan sikap acuhku, dia kembali berujar dengan intonasi yang meninggi.
"Hubungi Michi! Katakan kau akan menumpang bermalam di rumah kostnya malam ini!"
Aku menyeringai. "Maaf, 'hubungi Michi?' Astaga, baru sore tadi ajakannya untuk menemaninya berbelanja kutolak mentah-mentah, dan sekarang aku harus 'menghubungi Michi' dan merengek untuk dapat menumpang bermalam di kamar kostnya? Oh, maafkan rasa ketidakterimakasihanku, namun urat maluku belum putus." Aku mengakhirki khotbah penjelasanku dan segera menenggak minuman di hadapanku dengan tingkat kesopanan skala nol, menyebabkan dia menatap sebal padaku dan memberikan pandangan yang mengindikasikan dia sangat ingin melempar sesuatu ke kepalaku. Tunggu, ekspresi sebalnya adalah satu-satunya hal lucu yang dia tampilkan setelah sepanjang hari ini. Namun menyadari penyebab ekspresi itu adalah demi kebaikanku, maka kutelan bulat-bulat sisa-sisa protes yang masih menggumpal di kepalaku.
Aku memandang ponselku dengan malas. Nama teman satu kampus yang dikenalkan padaku belum lama ini oleh manusia dihadapanku ini sesungguhnya tidak pernah terpikirkan olehku. Tapi yasudahlah, dia memang benar, pilihan apa lagi memangnya yang kupunya? Lagipula, aku yakin Michi tak akan menolak permintaanku.

"Ya, oke, baiklah. Ya, barangkali satu jam lagi akan akan pulang. Ya, titipkan saja kuncinya di lantai bawah. Oke. Baiklah." Dan percakapan mengharukan antara aku dan Michi berakhir begitu saja dengan kesimpulan ia masih menganggapku sebagai teman yang sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan, dan bukannya gelandangan yang tidak tahu harus bermalam dimana lagi asal tidak di pinggiran toko.
"Michi bilang oke." Ujarku singkat.
Dia tersenyum lebar menatapku. "Syukurlah." Ujarnya sambil menggilaskan sisa puntung rokok ke dalam asbak dan segera menyulut satu yang baru. Wow, sudah berapa banyak batang sial yang dia habiskan malam ini? Kukira dulu dia bukanlah sejenis manusia yang rela merusak dirinya dengan cara seperti ini, namun tentu saja waktu yang berlalu menunjukkan kuasanya.
"Hmm....lalu apa yang akan kita lakukan setelah ini?" Lanjutnya.
'Apa yang akan kita lakukan setelah ini'? Bagaimana jika kita mengobrol? Seperti yang selama ini selalu kita lakukan, bukan? Mengobrol hingga minuman kami habis. Mengobrol hingga keriuhan di sekeliling kami habis. Mengobrol hingga waktu kami berdua habis.

  Dia melihatku di sela sela hembusan asapnya. Lalu setelah ini....apa?

***

Kami bertukar tawa di hening malam yang menusuk ini, menjadi satu satunya penghuni kafe kecil yang sudah kosong, mengisinya dengan percakapan tanpa beban.Faktanya,seisi pusat perbelanjaan ini susah lewat jauh dari jam operasionalnya. Kami berdua adalah kenekatan yang mendobrak segala peraturan yang ditetapkan pada malam itu. Kami berdua adalah kenekatan yang hadir dari pemberontakan-pemberontakan kecil dari kharusan yang biasanya membelenggu kebebasan kami. Malam itu, mall kecil di sudut barat Kota Jakarta merekam semuanya. Pegawai kafe memandang kami dengan suntuk, seakan bertanya-tanya kapan tepatnya kami akan pergi dari tempat itu. Beberapa satpam berjalan mondar - mandir tak jauh dari kami, barangkali (lagi-lagi) pertanda bahwa kami diharuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Tapi kami tak peduli, kami belum ingin pergi. Kami belum ingin pulang. Sepenggal malam ini terlalu berharga untuk hanya dilewatkam dengan bergelung di dalam selimut. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan cara yang akan kukenang sepanjang ingatanku.

***

Jalanan lengang, beberapa mobil diparkir dipinggir jalan. Tak tampak seorang pun melintas, entah kemana masyarakat pemuja hingar bingar Jakarta pada dini hari seperti ini.
"Ayo, itu taksi kita." Dia menunjuk sebuah mobil putih yang berjarak lumayan jauh dari tempat kami berdiri. Aku menyempatkan diri memandang bangunan yang sudah sepenuhnya gelap dibelakangku. suasana malam yang magis bagiku. Rasa sepi yang menenangkan. Susah sering kukatakan bahwa aku mencintai malam, bukan? Tak peduli sesusah payah apa aku mencoba menjelaskan alasannya, para idiot-idiot itu tak akan pernah sanggup memahaminya. Tunggu, barangkali aku sendiri juga merupakan salah satu dari para idiot itu, mengingat hingga saat ini aku tidak pernah bisa memahami dengan tepat alasannya. Yang kupahami, semesta itu indah. Dan malam-malam langka seperti ini adalah salah satu ciptaan semesta yang menjadi morfin bagiku.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memandang sekelilingku. Kesunyian yang jelas tidak akan kami dapatkan lagi, tidak di waktu ataupun dengan orang yang sama. Dan sesaat lagi, kami akan meninggalkan kenangan apapun itu, larut dalam alunan musik statis yang diputar dalam mobil bersuhu pendingin rendah dan kelebatan gedung-gedung tinggi yang masih memancarkan sisa-sisa keanggunannya, dan lalu kami akan dipaksa kembali pada rutinitas, pada aturan aturan yang membelenggu semua rasa senang, yang menjadikam setiap momen seperti ini terasa begitu berharga.
"Kau tahu, aku akan merindukan ini." Ujarku pelan sambil menatap jalanan lengang yang tengah kami lalui menuju rumah kost Michi.
"Aku tahu." Jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Aku menghembuskan napas pelan, berusaha menikmati setiap detik yang terlewat saat kami membelah jalanan ibukota.
"Aku tidak ingin pulang. Aku masih ingin berada selama puluhan ribu menit lagi di kota ini. Aku tidak ingin pulang ke kamar kostku yang pengap dan bertemu rutinitas membosankan di kota itu. Aku selalu bingung dengan konsep kepulangan jika aku ada disini." Aku berujar lagi.
"Kau bisa kembali lagi kesini enam bulan lagi, seperti yang selama ini kau lakukan." jawabnya. Aku menangkap nada getir dalam suaranya.

Tak lama kami tiba di depan bangunan kost Michi, aku memandang balkon lantai kamar teman kami dari jalanan dibawahnya.
"Jika aku kembali lagi nanti, kau masih akan menyambutku kan? Masih mau menemaniku menjelajahi Jakarta, kan?"

Dia menoleh kepadaku dengan dahi mengernyit. "Tentu saja. sebuah kehormatan bagiku bisa menemanimu saat kau berada di kota yang sangat kau cintai ini." Dan lalu ia tersenyum. Barangkali tersisip rasa sedih di dalamnya, entahlah. Aku tidak pernah benar-benar bisa mereka-reka arti guratan wajahnya, atau pikiran-pikiran tentangku di kepalanya....
Aku menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Pukul tiga dini hari, aku harus segera masuk untuk menghindari pandangan ingin tahu dan bisikan maut para pria yang mengamati kami sejak kami tiba tadi.
"So...this is good bye, then. Sampai kita bertemu lagi." Ujarku pelan.
Dia diam saja sampai akhirnya menghampiriku dan memelukku singkat. "Selamat tinggal, sampai kita berjumpa lagi."

Dan setelah itu, kami kembali kepada kenyataan kami masing-masing ; aku memasuki kamar Michi (yang sudah tertidur amat pulas), dan mengistirahatkan hati dan otakku untuk persiapan kembali ke kota asalku besok sore, dan dia berjalan berbalik memunggungiku,yang segera aku kehilangan sosoknya setelah ia berbelok di tikungan gang pertama. Begitulah...kami berjalan menuju persimpangan yang berbeda. Kami kalah telak, pada kekal jarak.
Waktu mempunyai batasnya, momen mempunyai masa kadaluarsanya. Setidaknya, semesta sudah berbaik hati menciptakan malam ini untuk kami.Dan untuk sekarang, bagiku ini sudah cukup. Jakarta dini hari, terima kasih banyak.

-junk, 2016