Senin, 19 September 2016

Vasumathi

~3AM  in Jakarta baby
I don’t wanna think
I don’t wanna feel
Late night thoughts of you
Late night thoughts of me
I just wanna drink
to get you out of me~~

Aku melirik dia yang mengendalikan setir, sambil sesekali menyanyikan beberapa penggal lirik lagu favoritnya. Aku tersenyum. Seseorang di sebelah kananku ini selalu dapat membuatku tersenyum, apapun segala keabsurdannya.
Hening yang cukup lama terpeta di antara kami berdua. Mungkin karena aku yang sedang berkonsentrasi menikmati keadaan ini, atau dia yang sedang berkonsentrasi menghadapi macet yang terhampar di hadapan kami. Sesekali ia mengeluh, sesekali ia tertawa mendengar gurauan penyiar radio yang telah menggantikan suara lagu tadi.
Lalu dengan begitu saja, kami berpandangan. Kami berpegangan. Dia terdiam melihatku--entah, barangkali mengamati warna lipstik baruku. Aku terdiam terpejam, mengendus wangi parfum lembutnya yang selalu menyeruak tanpa permisi, selalu membuat candu. Dan rindu, tentu saja.

"Apa kita benar benar harus pulang malam ini?" tanyaku.

Dia terkekeh. "Tentu, aku bisa mengantarmu pulang kerumah dan kau bisa mempersiapkan diri untuk kuliahmu besok.", lalu ia mengerling padaku sembari memindahkan tangan kirinya dariku untuk mengganti persneling. "Atau kita bisa pulang ke tempat lain malam ini dan persetan dengan segala kewajibanmu besok. Apapun maumu." Jawabnya tak ayal membuatku tergelak senang jauh di dalam hatiku.

"Kita bisa....." dia sudah membungkam bibirku dan melumat habis kata-kata yang hendak kuucapkan. Nyatanya, toh tak perlu kuucapkan.
Yeah, kupikir aku tahu bagaimana malam ini akan berakhir.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Rasanya sudah lama sekali sampai aku bangun dari sisi tempat tidurnya. Aku mendudukan diri dan melihat jam merah di atas nakas. Pukul tiga pagi lewat sepuluh menit. Aku tertawa dalam hati, dan sedang apakah aku kini, batinku getir. Tak lama ponsel silver yang bersisian dengan jam tadi bergetar berkali-kali, sedang pemiliknya hanya tetap acuh tidur. Aku melirik layarnya yang menyala sekilas. Dari kekasihnya. Namun cukup itulah yang kubaca, tak perlu kutahu apa isi pesannya. Lagipula aku toh bisa menduga kira-kira isi pesan bernada khawatir seperti apa yang biasanya dikirimkan oleh kekasihnya. Aku melirik kebelakang. Seseorang itu masih tertidur dengan damainya, dan barangkali akan tetap seperti itu hingga sinar matahari pertama muncul nanti. Maka kuambil sebungkus rokok dari dalam tasnya dan beranjak menuju balkon kamarnya.
Tidak ada yang benar-benar bisa dinikmati dari pemandangan kota kecil dini hari seperti ini. Nyala redup lampu perkampungan, beberapa pemuda yang keluar masuk rental play station dekat situ, dan bulan yang berbentuk penuh. Bulan emas tanpa satupun awan hitam menyebrangi pendar cahayanya. Vasumathi....ujarku pelan. Paru-paruku sibuk memproses racun yang kuberikan dengan sengaja, sementara otakku berkelana kemana-mana.

Sedang apakah?

Ketika kupikir aku akan mati karena kekosongan yang tak searah dengan isi kepalaku yang sedang riuh, pintu dibelakangku berderit membuka dan ia menyusul duduk dilantai bersebelahan denganku. Tanpa kata, ia mengambil sebatang rokok dari bungkus yang tergeletak begitu saja di depan kami. Ia menoleh mencari-cari sesuatu hingga akhirnya menemukan gelas air mineral kosong yang ternyata digunakannya sebagai tempat sisa abu.

"Bulannya bagus ya?" tanyanya, berjawabkan hening. "Aku tidak pernah tahu kau juga suka memandang bulan. Biasanya kau selalu ribut jika melihat banyak bintang berkerlip dilangit." lanjutnya.

Tapi tidak satupun ada bintang di langit yang terlihat kali ini, Aku bersuara dalam hati dan menghembuskan asap perlahan, seakan dengan demikian kata-kata tak terucapku bisa ikut terlontar keluar.

"Bulannya bagus..." ujarnya lagi. Lalu dia menginjak sisa bara rokoknya dengan sandal ruangannya hingga padam sebelum akhirnya memasukkan puntungnya ke dalam gelas plastik tadi. "Kalau melihatmu melihat langit dengan intensitas yang sebanding dengan kecepatanmu merokok seperti ini, aku jadi penasaran siapa yang sedang kaupikirkan saat ini." tanyanya, kali ini menoleh memandangku.

Giliranku menoleh ke arahnya. Aku tersenyum, lalu mengangkat bahu. "Mengapa kau harus tahu?" Jawabku.

Ia terkekeh. "Tidak. Kupikir aku sudah tahu. Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu, kau tahu?"
Diam yang cukup lama, hingga ia menambahkan lagi. "Menurutmu apakah dia melakukan hal yang sama denganmu?".

Kali ini aku memandangnya sepenuhnya."Aku tidak tahu. Dan itu tidak penting."
"Apakah menurutmu kekasihmu juga memikirkanmu sebesar kamu memikirkannya? Oh jangan menyangkal--" cetusku ketika melihat gelagat ingin membantah darinya. "--aku tahu kau memikirkannya jauh dibalik ketidakpedulianmu pada pesan singkat yang dikirimnya." tambahku.

Ia diam sebentar sebelum melanjutkan. "Dia hanya bisa mengirimiku pesan singkat, tak lebih. Apa menurutmu aku terlihat membutuhkan banyak pesan singkat?".

"Tidak." Jawabku jujur. "Tapi setidaknya dari pesan singkat itu kau tahu bahwa dia memperhatikanmu. Dan ehmm...menyayangimu, tentunya."

Ia tertawa getir dan menggumamkan kata-kata yang sekilas bagiku terdengar seperti 'apa gunanya'.

Aku kembali menyandarkan punggungku ke tembok luar kamarnya. Pembicaraan seperti ini jelas bukan pembicaraan yang pantas untuk dibicarakan di waktu pikiran kami seharusnya sedang ditenangkan.

"Bulannya bagus ya? Pernah tidak terpikir untuk benar-benar bisa berada dekat dengan bulan dan menikmati segala cahaya, peri-peri yang hidup disana, dan apapun yang mungkin ada di dalamnya?" ujarku. "Aku ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh kehidupan di ruang angkasa dan segala pendar cahaya itu."

Ia mendengus pelan. "Yah, dan tubuhmu akan terbakar tepat menjadi serpihan tepat setelah kau meninggalkan bumi." ia berujar pelan menambahkan, "Tapi kau benar, setidaknya memandang langit seperti ini memang....sedikit menenangkan."

Aku tertawa jika ia kembali pada pemikiran realistisnya namun menyemburkan kegetiran yang sama kepada sanggahan realistisnya sendiri.

"Hei, aku seorang Leo, aku memang ditakdiran untuk sedikit dramatis!" tawaku sambil turut menertawakan diriku sendiri.

"Kau tidak akan ke jakarta lagi dalam waktu dekat ini?" Tanyanya membuatku terdiam dengan perubahan topik yang mendadak ini. "Biasanya kau selalu mengoceh tak keruan mengenai kota itu. Sepertinya kita memang memiliki masalah yang sama dengan kota-kota dimana kita tidak seharusnya berada ya." kekehnya pelan.
Aku hanya mengangkat bahuku.

Aku tidak tahu, sungguh. Kota itu terasa abstrak bagiku kini. Rasanya seperti berada dalam kilasan mimpi. Dan tidakkah kaupikir, sudah seharusnya aku mengakhiri segala mimpi dan kegilaan semu ini? Entahlah.

~I forget Jakarta
Leaving all the lunacy behind
This time give me back my sanity~~

Dering alarm dari ponsel di saku kananku berdengung hebat, menandakan pukul lima pagi telah tiba. Kami berdua memandangi nyala layarnya dengan penuh minat seakan benda tersebut adalah mikroba yang dijejalkan dibawah lensa mikroskop.

"Kita harus tidur." Ia memecahkan keheningan.

"Aku harus kembali kerumah." Ujarku pelan. Ketika ia menoleh dengan mengernyit, aku menambahkannya dengan tersenyum. "Kuliahku, ingat?"
Dan iapun mengangguk maklum.

"Hei, terima kasih." ujarnya saat kami kembali ke dalam kamar. "untuk malam ini. Anggap saja kau telah menemaniku."

Aku tersenyum. "Aku memang menemanimu." jawabku.

Ia berdecak. "Kau tahu apa maksudku. Bisakah kita melakukan hal seperti ini lebih sering lagi?".

Aku terdiam sebentar. "Oh entahlah. Hal-hal langka yang menyenangkan seperti kesempatan malam tadi rasanya tak akan betah sering-sering menghampiriku." aku merapikan isi tasku. "Tapi tentu saja kita bisa melakukannya jika kau mau. Dan jika kekasihmu tak memergokimu, pastinya." tutupku sambil mengecup kilas bibirnya.

"Perlu kuantar?" tanyanya ketika kami tiba di tangga lantai satu rumah kostnya. Aku menggeleng, dan menyorongkan nyala layar ponselku, menginfokan bahwa aku akan menggunakan jasa transportasi online untuk mengantarku pulang. Maka ia hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan.

"Hati hati di jalan, Mika." tutupnya sambil mengangkat tangannya, mengajakku untuk tos.

"Tentu, kau kembali tidurlah. Selamat beristirahat, Thalia.Terima kasih untuk malam ini."

~ We'll forget Jakarta
Promise that we'll never look behind
Tonight, we're gone to where this journey ends~~

****************--------*************

Monicnicta. Sep8th16. 11.30. Ruang kelas Eloquent reading. I 'm doomed if my lecturer see me making this kind of literature instead of  interpreting some old poetry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

post anything :)