Jumat, 21 Oktober 2016

Chakra

You know, all the things that happened to us in this universe are connected to each other. Day by day, I believe it.
I met some people. Ive gone this far, Ive met some helpful people. Something that I never really thought before. And it came in the way I never expected before.
It's good. Yeah, its good. You lose some, you get some. And im so grateful about it. Im still learning. To see. To understand. To cooperate with this universe. Something that probably, in the future, Ill call it 'destiny'.
Who knows?
But universe is indeed amazing. You probably dont believe in God, but if you are also dont believe in the power of Universe...then I dont know what you are anymore.
So yeah. There's nothing such so far so good. Like what my friend (that I just met a week ago!) said : "your body will heal, your mind will heal. What done is done; what will happen, will happen. Forgive yourself."

Forgive yourself, is a powerful thing. At first I think, when a relationship's off, forgetting is the hardest part. But apparently, forgiving those, especially yourself, is way harder. If you meet someone attract you that much, forgetting is not a big deal. But then deep down you keep recall what have you done wrong in your past, what you shouldve done, what you shouldnt have done. Those kind of things are poison. And some people, keep that poison within themselves. So im still learning.


Few days ago, I met this guy. A puerto rican guy. The way I met him is just so unexpected, the universe conspired. He is, a natural healer. He taught about balance, and so on. The third time I met him, he suggest--well, he insist me to do some healing. I have no idea before, and ofcourse I rejected it. I dont like being scanned, or touched especially by a stranger. But then he said, "you carry a lot of your past in your body, and it affects your mental , do you know that?Dont be so stubborn." 

And by that, I fully surrender myself. One thing for sure, no explaination but I trust this guy. So yeah. The rest is history.
And again, universe conspired. In an amazing way make us realize that we're just tiny tiny little human.
I'm glad having a chance for this kind of things. 


Im still learning tho.
Im still learning.

****
After the process, my friend told me about human's aura and chakra. And I got mine. The one that is bigger and stronger than the others,

well, thats a simple research i found after he told me.
I dont believe in many things. But surely I do believe in nature and universe conspiracy. So now, I finally understand that everything in this universe is connected to each other. Sometimes, it comes up in a form of what we called coincidence.  


So yeah :)


Im still learning.


Im still learning.


Im still learning.

-junk

Selasa, 18 Oktober 2016

Dream

I was dreaming...
I was dreaming about us...
The realest dream, after all those dreams about you at the past...... I was dreaming we say good bye to each other..... The realest good bye, since we never really said any..... I was saying good bye.... And you said it too..... You were smiling, and I was too..... I almost forgot how you really look like, but you just seem so real.... We were looking at each other before separated by the lift door--the lift that I was in....that is weird...but now I got the message.
You were the one who said that we will not meet again.....And yeah, I guess it's really my time to realize that....So that was....One emotional dream I ever got....But then I got the message....Even my dream wanted us to have good bye....
At least we were smiling at that dream...so we really have to smile faithfully in the reality.....Because it seems like universe is no longer blessing us.....For those who said its only a dream, well, I really appreaciate this kind of dream........so bumbumbumdrumdrumdrum, its been a very long time....This is kinda relieving, knowing the difference between I have to, and I want to.....
So ya.....My time is up...I wish all the best this world can give to you.....Even if it means you will be the whole new person that I wont ever recognize......I dont mind being a little piece of the past......because it felt good...so good..... guess that now I really have to pay attention to what and who is right in front of me...

"saya ingin kabur, sebentar saja. boleh tidak? saya tidak ingin dicari atau mencari. saya tidak ingin memprioritaskan apapun untuk sebentar saja. saya ingin orang-orang mendadak lupa akan saya dan berhenti menyeret-nyeret saya dalam urusan mereka. saya ingin dunia menjadi kedap suara jadi saya tidak perlu mendengar teriakan-teriakan kasar yang tidak selayaknya saya dengar. saya tidak ingin merasakan apapun yang menyebabkan saya harus bertanggung jawab pada sesuatu yang bahkan tidak saya perbuat. saya ingin sistem pengatur emosi dalam sudut otak saya dimatikan sebentar, supaya saya tidak perlu merasakan apa-apa, bahkan rasa senang sekalipun, kerena toh, rasa senang hanyalah pengantar rasa-rasa mengerikan yang akan timbul setelahnya. saya tidak ingin terlalu memedulikan perasaan orang lain, jika setan dalam diri saya harus hidup lebih kuat lagi, maka biarkanlah saya menjadi jahat untuk mereka. saya ingin bisa menyentuh siapapun dengan sepuasnya, peduli setan dengan perasaan oranglain yang harus saya jaga. saya tidak ingin memahami oranglain dan alasan mengapa mereka harus dipahami. saya tidak ingin bersusah payah membantu orang lain yang bahkan ingat kepada bantuan sayapun tidak. saya ingin merasa bahwa diri saya lebih penting daripada oranglain yang saya pentingkan. saya tidak ingin merasa bersalah pada sesuatu yang menurut mereka harus saya lakukan untuk mereka. saya ingin disebut 'brengsek' karena memang begitu adanya, dan bukannya karena apa yang saya tampakkan untuk mereka. jadi bagaimana, boleh tidak?"

kepada "tuhan"ku yang berkuasa dalam segala jagad maya, jika ia memang ada.

Senin, 17 Oktober 2016

Gue harus optimis untuk sebab apa coba, tolong jelaskan.

������

Jumat, 07 Oktober 2016

I swear,

Aneh rasanya. Ketika dua orang yang sudah lama tidak bertemu, kembali dipertemukan dengan kesempatan yang tidak pernah kami berdua duga akan pernah terjadi, menjadi obat dari segala kehilangan dan kemuraman yang ada akhir-akhir ini.
Semesta memang aneh.
Dari perbincangan yang santai, menuju malam yang mungkin tidak akan kami berdua dapatkan lagi dalam waktu dekat ini. Menikmati suara halus dan senyum manis itu. Menikmati tubuh yang dalam beberapa kesempatan tidak sengaja direkatkan kepadaku. Menikmati langit malam, yang seperti kamu keluhkan 'Kok nggak ada bintang ya padahal cerah', atau cukup puas menikmati asap rokok dan dua gelas teh hangat yang pintamu "nggak usah manis manis ya, Bu, soalnya aku udah manis,". Menikmati saat-saat menyanyikan lagu-lagu milik Sia di dalam mobilmu sepanjang perjalanan, dan menikmati sepenuh hati menemanimu memanjatkan doa, seperti yang kamu bilang, "Apa aja deh, semua agama kan nggak ada yang buruk juga.", meskipun bukan itu kepercayaan yang dianut dirumah dimana kamu tinggal.
Dua orang yang sudah lama tidak bertemu, kembali dipertemukan, melakukan aktifitas seakan jeda waktu itu tidak pernah ada sebelumnya.
Jika jatuh cinta adalah kata yang berbeban berat, maka biarkanlah.
Dan aku bersumpah, di waktu ini, saya kembali jatuh cinta, untuk kamu, pain maker yang namun sekaligus menjadi personal pain relief saya.

Gawat. Bagaimana dong?

GM Kerep, 03.20 tadi. Saat mengamati orang-orang bermuka tertekan dan penuh doa.
Aku kok jadi pengen lihat senyum itu terus-terusan. Dengan seseorang yang berarti, waktu berlalu bagai terbang, sayang, pagi datang terlalu cepat dan kewajiban menuntut untuk diharuskan.

-junk

Kamis, 06 Oktober 2016

Sebentar,

N : “Sini, aku mau menanyakan sesuatu padamu.” 
M: “ Apa?”
N : “ Apa yang menyebabkanmu menjadi seperti ini?”
M : “ Barangkali kau tahu apa.”
N : “ Yeah, barangkali aku tahu siapa. Apakah mereka sebegitu berartinya bagimu?”
M : “ Barangkali.”
N : “ Apa mereka yang selama ini kaucari dalam hidupmu?”
M : “ Mungkin juga begitu.”
N : “ Apakah kau bisa membagi semua pemikiranmu pada mereka? Apakah kamu bisa menyerahkan semua perasaanmu kepada mereka?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apakah mereka memiliki pemikiran - pemikiran yang sejalan denganmu?”
M : “ Tidak.”
N :  “ Apakah mereka bisa mengimbangimu?” 
M : “ Tidak.”
N : “ Apakah mereka bisa menerima semua pemikiran gila yang bercokol dalam kepalamu?” 
M : “Tidak.”
N : “ Apakah mereka membantumu menjadi hal baik apa yang kau harapkan terjadi padamu?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apa kau bisa membuka dirimu dengan lugas di hadapan mereka tanpa harus selalu menyembunyikan dan berlari menghindar?”
M : “ Tidak.”
n : “ Apakah mereka bisa memaklumimu?”
M : “ Tidak.”
N : “ Apa kau yakin mereka ada untukmu disaat kau paling membutuhkan mereka?”
M : “ Tidak.”
N : “ Jikapun suatu saat nanti kau bisa hidup berdampingan dengan mereka, apakah kau yakin itu akan menjadi hubungan timbal-balik yang menyenangkan? 
M :” Tidak.”
N : “ Lalu dengan segala ‘tidak’ dan segala perbedaan yang sudah jelas akan membawamu menuju kerusakan yang tidak bertitik terang nantinya, mengapa kau masih menganggap seakan mereka adalah hal yang penting di hidupmu, bahkan jauh melampaui kepedulian dan kewajiban akan dirimu sendiri yang selalu kau abaikan? ‘Demi kebersamaan bersama mereka’, ‘Demi mendengarkan riuh suara mereka’. Bah! omong kosong apa pula itu? Kau tahu berapa banyak hal yang kau tinggalkan? berapa banyak rindu yang terpaksa kau sekat? berapa banyak malam yang kau lewatkan tanpa lelap yang layak? Bah! omong kosong.” 
M : Tidak. Tidak tahu. Bukan karena aku ‘diharuskan’ begitu, namun aku ‘ingin’ begitu.  Barangkali……takdir?” 

Perpustakaan Thomas aquinas, diantara kumpulan puisi Chairil Anwar. 15.04.  Mampus kau di koyak-koyak kebodohan! 

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan mengaku mencintai seseorang jika kau hanya sebatas senang melihat senyumnya tanpa pernah mengetahui apa arti dari senyum itu.


Jika kau mencintai dia dari yang terlihat saja, aku khawatir bagaimana jika dia tak lagi dapat kau lihat? - via bukanlangitsenja
yaampun, saya harus meminta maaf kepada seseorang karena telah memaknainya dengan sedangkal itu. 
benar, aku sedangkal itu merasakanmu.
- junk

Minggu, 02 Oktober 2016

Infinite

~And some days I can't even dress myself
It's killing me to see you this way~~

Suara mesin mobil yang diparkir terdengar statis dari depan kamarku, mendistorsi suara lagu yang sedang kuputar dari radio di dalam kamar. Tak lama kemudian, suara statis itu dimatikan dan terdengar bantingan pelan pintu mobil yang ditutup. Ponselku berkedip menampilkan satu buah missed-call dan pesan singkat yang menyusul setelahnya. Dari nomor yang tidak kusimpan--karena aku memang jarang sekali menyimpan nomor kontak, bahkan milik teman-teman terdekatku sekalipun.

'hei bisa keluar sebentar?'

Aku mengernyit memandang pesan singkat itu, lalu setengah mati mengamati nomor yang terpampang diatasnya, mencoba mengingat-ingat siapa pemiliknya. Nihil. Nomor tersebut benar-benar terasa asing dalam ingatanku.

Lama kudiamkan pesan singkat itu. setengah ingin masa bodoh namun juga penasaran. Maksudku, hampir jam sebelas malam dan aku mendapat tamu entah siapa diluar  rumah orang tuaku, bagaimana aku tidak merasa was-was?
Namun demikian kukubur rasa penasaranku dengan beranjak membuka pintu depan setelah kuterima panggilan masuk kedua.

Dan disana aku menemukannya. Dia berdiri disana dengan senyum kikuknya. Wajahnya terlihat lelah namun selebihnya dia terlihat baik baik saja.

"Eh. Tumben sekali kesini, malam - malam pula. Ada masalah apa?" tanyaku, masih dengan suasana yang canggung juga. Refleks saja sebetulnya, sudah lama sekali aku tidak terlibat urusan apapun dengannya setelah kekacauan selama beberapa saat belakangan ini, dan tiba-tiba saja dia berada di depan pagar rumah orangtuaku malam ini.

"Nggak apa-apa. Kebetulan aja lewat sini, jadi kuputuskan untuk mampir karena aku yakin kamu juga pasti belum tidur di waktu seperti ini. Lagipula aku ingin mengobrol. Boleh aku masuk?"

"Oh. Begitu." jawabku, menyangsikan apakah 'kebetulan lewat' darinya itu benar adanya. Aku memandangnya sebentar. Dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan ekspresi santai, namun aku cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa apapun yang ingin diobrolkannya denganku tidak akan sesantai apa yang berusaha ditampilkannya. Maka kubukakan pintu gerbang itu dan kupersilakan ia duduk di kursi teras rumah.

"Sebentar," aku bergumam pelan dan beranjak masuk, meninggalkannya dengan pandangan bertanya-tanya.
Aku beranjak masuk ke kamarku dan mengganti kaus tidurku dengan baju yang lebih layak, lalu kembali lagi ke depan untuk menemuinya yang sekarang memandang bingung padaku.

"Aku nggak tahu apa yang mau kamu obrolkan, tapi mengingat obrolan-obrolan kita selama ini, kurasa ada baiknya kalau kita mengobrol di dalam mobilmu saja. Atau dimanapun. Untuk sedikit privasi yang lebih layak." jawabku, sedikit teringat kemungkinan apabila orangtuaku tak sengaja mendengar obrolan kami.

Dia mengendikkan bahunya pelan sebagai isyarat setuju. Dan tak lama kemudian kami berdua sudah berada di dalam mobilnya, menembus jalanan sepi kota kecil ini.
"Kita mau kemana?" Tanyanya memecah keheningan?"

"Nggak tahu, nggak penting juga kan kita mau kemana." Jawabku berusaha acuh. Sudah sekian lama aku tidak melihat dirinya dan tiba-tiba saja sekarang aku berada sedemikian dekat dari tubuhnya. Membuat jantungku berlompatan tidak keruan, sesungguhnya.

"Ada apa?" Tambahku lagi.

"Tidak ada apa-apa." Jawabnya cepat. Bahunya menyandar di jok dengan kelewat kaku dan kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan cara sedikit tidak normal bahkan untuk jalanan lengang seperti ini, sesungguhnya bukan cara yang tepat untuk menunjukan bahwa dia tidak apa-apa.

"Kamu nggak berubah ya. Kalau mau berbohong, pintarlah sedikit." cetusku, tidak mengalihkan detail kecil yang mencurigakan tadi.

Ia tertawa. Meskipun tidak menjawab pertanyaanku, namun postur tubuhnya menjadi sedikit lebih rileks setelahnya. Ia mengusap rambutnya pelan. "Oh entah deh." ujarnya pelan.
Aku menghela napas pelan, seakan sudah akrab dengan keadaan seperti ini. Bosan, namun tidak bisa untuk tidak peduli.

"Kekasihmu ya? Kenapa lagi dia?" Tanyaku langsung, siapa yang butuh basa-basi disaat-saat seperti ini?

Dia meringis mendengar pertanyaanku, dan barangkali terselip sedikit perasaan bersalah di dalamnya. Mungkin.

"Sebenarnya aku nggak ingin membicarakan itu. Maksudku, apa aja selain dia. Yah...dia...nggak penting. Yah..kamu tahu lah."

"Apaan? Kamu nggak bisa bilang dia nggak penting kalau kenyataannya dia mengganggu pikiranmu sampai sejauh ini. Ayolah, aku tahu kamu nggak datang menemuiku begitu saja setelah berbulan-bulan lamanya seperti tadi cuma untuk menanyakan kabar dan berbicara basa-basi kan? Jadi..kalau aku boleh tahu, memangnya apa yang terjadi?"

Ia membiarkan suara penyiar radio yang menyala di dashboard mobilnya berganti dengan suara lagu sebelum akhirnya menjawabku.

"Aku kangen kamu." jawabnya pelan.

Aku memejamkan mataku, berusaha memblokir kata-katanya. Oh, jangan ini lagi, desahku putus asa. Dia mengucap rindu untukku  sebelum akan membantingku kembali dengan apapun kata-kata yang akan diucapkannya, seperti yang selama ini dilakukannya.

"Yeah. Lalu?" Aku memandang jalanan dari jendela di samping kiriku untuk menghindari tatapannya. Mengerti bahwa aku mencoba mengacuhkannya, tiba-tiba saja ia melesakkan tangan kirinya dalam genggaman tanganku, membuat jantungku terasa melorot sampai ke mata kaki.

"Lalu...nggak ada. Aku kangen kamu. Itu aja."

"Bagaimana kabar kekasihmu?" Potongku cepat, mengantisipasi kemungkinan buruk apapun yang akan menyongsongku.

Ketika dia tidak menjawab apapun, aku mencuri-curi pandang padanya, "Kalian sudah putus?" tanyaku, setengah berharap, setengahnya lagi merasa jijik pada harapanku sendiri.

Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. "Tidak kok." jawabnya pelan, membuatku ingin tertawa keras-keras karena tertampar kenyataan. Tentu saja bodoh! Ujarku pada diri sendiri.

"Tapi ya...kamu tau? Dia jadi..entahlah..dia jadi tak sepenting itu lagi buatku kini."

"Apakah aku pernah menjadi penting bagimu?" kata-kataku meluncur begitu saja tanpa sempat kupikirkan dengan rapi.

Dia tercengang mendengarku. "Iya lah! Hei aku selalu menganggapmu penting, oke? Menurutmu memangnya apa yang kulakukan malam ini disini jika kamu merasa aku nggak menganggapmu penting?"

"Oh nggak tahu deh, batas antara kenyataan dan harapan yang kamu kasih nggak pernah tampak benar-benar nyata untukku." ujarku kejam. Kepalang tanggung, aku melanjutkan saja, "Kamu setidaknyata itu, kamu tahu? Bahkan aku nggak tahu apakah keputusanmu malam ini datang mengunjungiku adalah keputusan yang kamu inginkan dengan penuh kesadaran. Jika kamu datang hanya karena sesuatu yang pernah kuberikan untukmu maka pergilah, urusan kita sudah selesai." mataku terasa panas dan aku setengah mati mengerjap menahan agar tidak ada yang bergulir jatuh dari kedua mataku. Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. Dia mendadak menepikan mobilnya, dan detik berikutnya yang bisa kuingat, ia sedang berusaha merengkuhku.

"Thalia..." ujarku pelan. "Kamu ini pacar orang.." dan dengan kalimat itupun aku tetap menyangkal kenyataan di depanku. "Aku--,"

"...aku tahu. Dan aku juga tahu sudah ada orang lain yang menyayangimu sekarang. Tapi untuk kali ini aja, ya, tolong jangan membicarakan dia, jangan membicarakan siapapun." Suaranya teredam namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa maumu?" tanyaku lugas, ketika dia akhirnya melepas pelukannya untukku. Sayang sekali pelukan itu tidak bertahan sedikit lebih lama lagi, pikirku getir. "Aku nggak bisa begitu saja bermesraan dengan pacar orang di dalam mobil disaat pacarmu mungkin sedang mengkhawatirkanmu! Dan juga orang lain--mungkin saja ada orang lain yang sedang mengkhawatirkanku!"

Ia tertawa terbahak-bahak, lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya dan meletakkannya ditanga ku. "Bacalah. Hanya itu yang selama ini bisa dilakukan oleh kekasihku, jika kamu ingin tau." nadanya mengejek, namun aku mengenali rasa frustasi di dalamnya. Lalu ia menyalakan mulai mengemudikan mobilnya kembali dan memberiku waktu membaca konten pesan singkatnya.

Lagi apa.....
sedang dimana.......
Sudah dirumah atau belum
Lagi apa.......
Jangan lupa....

Dan begitulah isi pesan-pesan singkat yang bisa kubaca, semuanya bernada membosankan bagi siapapun yang kedapatan membacanya. Aku mendongak dan menatapnya. "Nah." Ujarnya pelan, entah untuk apa.

Sesuatu mengiris-iris hatiku ketika aku melihatnya menyetir dengan pandangan putus asa, yang mati-matian berusaha ditutupinya dengan mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti alunan lagu dari radio.

"Sayang sekali aku bukan dia ya." Jawabku pelan.

Aku tidak pernah melihatnya bersedih, namun hari ini ia mendapatkan pengecualiannya. Barangkali refleks, ia kembali menepikan mobilnya dan menangis sesenggukan di atas kemudinya. Hal yang sangat langka untuk dilihat, namun aku toh tetap tidak bisa melakukan apa-apa.

"Dia temanku, Thalia. Apa yang sekiranya akan dia rasakan ketika tahu kekasihnya juga menyanyangi salah satu teman dekatnya?" gumamku pelan, lebih untuk diriku sendiri.
Yeah, sadarkah kamu apa yang sedang kamu hadapi?

Setelah kukira tidak bisa lebih lama lagi, ia mendongak dan mengusap air matanya dengan tergesa. "Aku harus mengantar kamu pulang." Suaranya terdengar serak.

"Nggak apa - apa." ujarku mengalihkan pandangan lagi ke jendela sembari ia melajukan mobilnya. "Aku nggak masalah menemanimu...menangis." gumamku.
"Maaf..." ujarnya, tangan kirinya mencari-cari tanganku lagi dan menggenggamnya erat. Dengan arah laju yang tidak menuju ke arah rumahku sama sekali, aku mengerti bahwa semesta memberi satu malam lagi kesempatan bagiku untuk bisa menikmati malam bersamanya.

Dan biarkan saja berlalu seperti itu.

Maret 2016
-junk