Minggu, 02 Oktober 2016

Infinite

~And some days I can't even dress myself
It's killing me to see you this way~~

Suara mesin mobil yang diparkir terdengar statis dari depan kamarku, mendistorsi suara lagu yang sedang kuputar dari radio di dalam kamar. Tak lama kemudian, suara statis itu dimatikan dan terdengar bantingan pelan pintu mobil yang ditutup. Ponselku berkedip menampilkan satu buah missed-call dan pesan singkat yang menyusul setelahnya. Dari nomor yang tidak kusimpan--karena aku memang jarang sekali menyimpan nomor kontak, bahkan milik teman-teman terdekatku sekalipun.

'hei bisa keluar sebentar?'

Aku mengernyit memandang pesan singkat itu, lalu setengah mati mengamati nomor yang terpampang diatasnya, mencoba mengingat-ingat siapa pemiliknya. Nihil. Nomor tersebut benar-benar terasa asing dalam ingatanku.

Lama kudiamkan pesan singkat itu. setengah ingin masa bodoh namun juga penasaran. Maksudku, hampir jam sebelas malam dan aku mendapat tamu entah siapa diluar  rumah orang tuaku, bagaimana aku tidak merasa was-was?
Namun demikian kukubur rasa penasaranku dengan beranjak membuka pintu depan setelah kuterima panggilan masuk kedua.

Dan disana aku menemukannya. Dia berdiri disana dengan senyum kikuknya. Wajahnya terlihat lelah namun selebihnya dia terlihat baik baik saja.

"Eh. Tumben sekali kesini, malam - malam pula. Ada masalah apa?" tanyaku, masih dengan suasana yang canggung juga. Refleks saja sebetulnya, sudah lama sekali aku tidak terlibat urusan apapun dengannya setelah kekacauan selama beberapa saat belakangan ini, dan tiba-tiba saja dia berada di depan pagar rumah orangtuaku malam ini.

"Nggak apa-apa. Kebetulan aja lewat sini, jadi kuputuskan untuk mampir karena aku yakin kamu juga pasti belum tidur di waktu seperti ini. Lagipula aku ingin mengobrol. Boleh aku masuk?"

"Oh. Begitu." jawabku, menyangsikan apakah 'kebetulan lewat' darinya itu benar adanya. Aku memandangnya sebentar. Dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan ekspresi santai, namun aku cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa apapun yang ingin diobrolkannya denganku tidak akan sesantai apa yang berusaha ditampilkannya. Maka kubukakan pintu gerbang itu dan kupersilakan ia duduk di kursi teras rumah.

"Sebentar," aku bergumam pelan dan beranjak masuk, meninggalkannya dengan pandangan bertanya-tanya.
Aku beranjak masuk ke kamarku dan mengganti kaus tidurku dengan baju yang lebih layak, lalu kembali lagi ke depan untuk menemuinya yang sekarang memandang bingung padaku.

"Aku nggak tahu apa yang mau kamu obrolkan, tapi mengingat obrolan-obrolan kita selama ini, kurasa ada baiknya kalau kita mengobrol di dalam mobilmu saja. Atau dimanapun. Untuk sedikit privasi yang lebih layak." jawabku, sedikit teringat kemungkinan apabila orangtuaku tak sengaja mendengar obrolan kami.

Dia mengendikkan bahunya pelan sebagai isyarat setuju. Dan tak lama kemudian kami berdua sudah berada di dalam mobilnya, menembus jalanan sepi kota kecil ini.
"Kita mau kemana?" Tanyanya memecah keheningan?"

"Nggak tahu, nggak penting juga kan kita mau kemana." Jawabku berusaha acuh. Sudah sekian lama aku tidak melihat dirinya dan tiba-tiba saja sekarang aku berada sedemikian dekat dari tubuhnya. Membuat jantungku berlompatan tidak keruan, sesungguhnya.

"Ada apa?" Tambahku lagi.

"Tidak ada apa-apa." Jawabnya cepat. Bahunya menyandar di jok dengan kelewat kaku dan kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan cara sedikit tidak normal bahkan untuk jalanan lengang seperti ini, sesungguhnya bukan cara yang tepat untuk menunjukan bahwa dia tidak apa-apa.

"Kamu nggak berubah ya. Kalau mau berbohong, pintarlah sedikit." cetusku, tidak mengalihkan detail kecil yang mencurigakan tadi.

Ia tertawa. Meskipun tidak menjawab pertanyaanku, namun postur tubuhnya menjadi sedikit lebih rileks setelahnya. Ia mengusap rambutnya pelan. "Oh entah deh." ujarnya pelan.
Aku menghela napas pelan, seakan sudah akrab dengan keadaan seperti ini. Bosan, namun tidak bisa untuk tidak peduli.

"Kekasihmu ya? Kenapa lagi dia?" Tanyaku langsung, siapa yang butuh basa-basi disaat-saat seperti ini?

Dia meringis mendengar pertanyaanku, dan barangkali terselip sedikit perasaan bersalah di dalamnya. Mungkin.

"Sebenarnya aku nggak ingin membicarakan itu. Maksudku, apa aja selain dia. Yah...dia...nggak penting. Yah..kamu tahu lah."

"Apaan? Kamu nggak bisa bilang dia nggak penting kalau kenyataannya dia mengganggu pikiranmu sampai sejauh ini. Ayolah, aku tahu kamu nggak datang menemuiku begitu saja setelah berbulan-bulan lamanya seperti tadi cuma untuk menanyakan kabar dan berbicara basa-basi kan? Jadi..kalau aku boleh tahu, memangnya apa yang terjadi?"

Ia membiarkan suara penyiar radio yang menyala di dashboard mobilnya berganti dengan suara lagu sebelum akhirnya menjawabku.

"Aku kangen kamu." jawabnya pelan.

Aku memejamkan mataku, berusaha memblokir kata-katanya. Oh, jangan ini lagi, desahku putus asa. Dia mengucap rindu untukku  sebelum akan membantingku kembali dengan apapun kata-kata yang akan diucapkannya, seperti yang selama ini dilakukannya.

"Yeah. Lalu?" Aku memandang jalanan dari jendela di samping kiriku untuk menghindari tatapannya. Mengerti bahwa aku mencoba mengacuhkannya, tiba-tiba saja ia melesakkan tangan kirinya dalam genggaman tanganku, membuat jantungku terasa melorot sampai ke mata kaki.

"Lalu...nggak ada. Aku kangen kamu. Itu aja."

"Bagaimana kabar kekasihmu?" Potongku cepat, mengantisipasi kemungkinan buruk apapun yang akan menyongsongku.

Ketika dia tidak menjawab apapun, aku mencuri-curi pandang padanya, "Kalian sudah putus?" tanyaku, setengah berharap, setengahnya lagi merasa jijik pada harapanku sendiri.

Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. "Tidak kok." jawabnya pelan, membuatku ingin tertawa keras-keras karena tertampar kenyataan. Tentu saja bodoh! Ujarku pada diri sendiri.

"Tapi ya...kamu tau? Dia jadi..entahlah..dia jadi tak sepenting itu lagi buatku kini."

"Apakah aku pernah menjadi penting bagimu?" kata-kataku meluncur begitu saja tanpa sempat kupikirkan dengan rapi.

Dia tercengang mendengarku. "Iya lah! Hei aku selalu menganggapmu penting, oke? Menurutmu memangnya apa yang kulakukan malam ini disini jika kamu merasa aku nggak menganggapmu penting?"

"Oh nggak tahu deh, batas antara kenyataan dan harapan yang kamu kasih nggak pernah tampak benar-benar nyata untukku." ujarku kejam. Kepalang tanggung, aku melanjutkan saja, "Kamu setidaknyata itu, kamu tahu? Bahkan aku nggak tahu apakah keputusanmu malam ini datang mengunjungiku adalah keputusan yang kamu inginkan dengan penuh kesadaran. Jika kamu datang hanya karena sesuatu yang pernah kuberikan untukmu maka pergilah, urusan kita sudah selesai." mataku terasa panas dan aku setengah mati mengerjap menahan agar tidak ada yang bergulir jatuh dari kedua mataku. Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. Dia mendadak menepikan mobilnya, dan detik berikutnya yang bisa kuingat, ia sedang berusaha merengkuhku.

"Thalia..." ujarku pelan. "Kamu ini pacar orang.." dan dengan kalimat itupun aku tetap menyangkal kenyataan di depanku. "Aku--,"

"...aku tahu. Dan aku juga tahu sudah ada orang lain yang menyayangimu sekarang. Tapi untuk kali ini aja, ya, tolong jangan membicarakan dia, jangan membicarakan siapapun." Suaranya teredam namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa maumu?" tanyaku lugas, ketika dia akhirnya melepas pelukannya untukku. Sayang sekali pelukan itu tidak bertahan sedikit lebih lama lagi, pikirku getir. "Aku nggak bisa begitu saja bermesraan dengan pacar orang di dalam mobil disaat pacarmu mungkin sedang mengkhawatirkanmu! Dan juga orang lain--mungkin saja ada orang lain yang sedang mengkhawatirkanku!"

Ia tertawa terbahak-bahak, lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya dan meletakkannya ditanga ku. "Bacalah. Hanya itu yang selama ini bisa dilakukan oleh kekasihku, jika kamu ingin tau." nadanya mengejek, namun aku mengenali rasa frustasi di dalamnya. Lalu ia menyalakan mulai mengemudikan mobilnya kembali dan memberiku waktu membaca konten pesan singkatnya.

Lagi apa.....
sedang dimana.......
Sudah dirumah atau belum
Lagi apa.......
Jangan lupa....

Dan begitulah isi pesan-pesan singkat yang bisa kubaca, semuanya bernada membosankan bagi siapapun yang kedapatan membacanya. Aku mendongak dan menatapnya. "Nah." Ujarnya pelan, entah untuk apa.

Sesuatu mengiris-iris hatiku ketika aku melihatnya menyetir dengan pandangan putus asa, yang mati-matian berusaha ditutupinya dengan mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti alunan lagu dari radio.

"Sayang sekali aku bukan dia ya." Jawabku pelan.

Aku tidak pernah melihatnya bersedih, namun hari ini ia mendapatkan pengecualiannya. Barangkali refleks, ia kembali menepikan mobilnya dan menangis sesenggukan di atas kemudinya. Hal yang sangat langka untuk dilihat, namun aku toh tetap tidak bisa melakukan apa-apa.

"Dia temanku, Thalia. Apa yang sekiranya akan dia rasakan ketika tahu kekasihnya juga menyanyangi salah satu teman dekatnya?" gumamku pelan, lebih untuk diriku sendiri.
Yeah, sadarkah kamu apa yang sedang kamu hadapi?

Setelah kukira tidak bisa lebih lama lagi, ia mendongak dan mengusap air matanya dengan tergesa. "Aku harus mengantar kamu pulang." Suaranya terdengar serak.

"Nggak apa - apa." ujarku mengalihkan pandangan lagi ke jendela sembari ia melajukan mobilnya. "Aku nggak masalah menemanimu...menangis." gumamku.
"Maaf..." ujarnya, tangan kirinya mencari-cari tanganku lagi dan menggenggamnya erat. Dengan arah laju yang tidak menuju ke arah rumahku sama sekali, aku mengerti bahwa semesta memberi satu malam lagi kesempatan bagiku untuk bisa menikmati malam bersamanya.

Dan biarkan saja berlalu seperti itu.

Maret 2016
-junk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

post anything :)