Sabtu, 09 April 2016

Part I : Dini Hari


"Kau yakin kau tak akan pulang ke rumah orangtuamu malam ini? Mereka pasti akam khawatir. Bukankah masa perkuliahanmu sudah hampir dimulai dan kau harus kembali ke kotamu besok sore?"
Pertanyaan retoris itu muncul diantara kepulan asap milik kami berdua. Aku mengangkat bahuku tak acuh. Sudah lewat tengah malam dan aku belum berada dirumah orangtuaku, terang saja aku tak akan kembali kesana malam ini. Aku tak ingin membiarkan mereka menghajarku di sisa malam ini, maka barangkali kuputuskan akan pulang besok. Sesungguhnya, sepatah dua patah kata sebagai pertanda kabar dariku bukanlah prioritasku. Lagipula, aku yakin mereka juga tidak akan terlalu memedulikannya, selama yang kulakukan bukanlah sesuatu yang ilegal dan mengakibatkan aku berakhir di penjara dan membutuhkan mereka untuk menebusku.
"Lalu kau akan bermalam dimana? Bukankah berbahaya jika kau bermalam di tempat yang tidak kau kenal dengan baik?" Dia kembali bertanya. Entah atas dasar kepedulian, atau hanya rasa penasaran belaka.
Aku kembali mengangkat bahuku. Barangkali geram dengan sikap acuhku, dia kembali berujar dengan intonasi yang meninggi.
"Hubungi Michi! Katakan kau akan menumpang bermalam di rumah kostnya malam ini!"
Aku menyeringai. "Maaf, 'hubungi Michi?' Astaga, baru sore tadi ajakannya untuk menemaninya berbelanja kutolak mentah-mentah, dan sekarang aku harus 'menghubungi Michi' dan merengek untuk dapat menumpang bermalam di kamar kostnya? Oh, maafkan rasa ketidakterimakasihanku, namun urat maluku belum putus." Aku mengakhirki khotbah penjelasanku dan segera menenggak minuman di hadapanku dengan tingkat kesopanan skala nol, menyebabkan dia menatap sebal padaku dan memberikan pandangan yang mengindikasikan dia sangat ingin melempar sesuatu ke kepalaku. Tunggu, ekspresi sebalnya adalah satu-satunya hal lucu yang dia tampilkan setelah sepanjang hari ini. Namun menyadari penyebab ekspresi itu adalah demi kebaikanku, maka kutelan bulat-bulat sisa-sisa protes yang masih menggumpal di kepalaku.
Aku memandang ponselku dengan malas. Nama teman satu kampus yang dikenalkan padaku belum lama ini oleh manusia dihadapanku ini sesungguhnya tidak pernah terpikirkan olehku. Tapi yasudahlah, dia memang benar, pilihan apa lagi memangnya yang kupunya? Lagipula, aku yakin Michi tak akan menolak permintaanku.

"Ya, oke, baiklah. Ya, barangkali satu jam lagi akan akan pulang. Ya, titipkan saja kuncinya di lantai bawah. Oke. Baiklah." Dan percakapan mengharukan antara aku dan Michi berakhir begitu saja dengan kesimpulan ia masih menganggapku sebagai teman yang sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan, dan bukannya gelandangan yang tidak tahu harus bermalam dimana lagi asal tidak di pinggiran toko.
"Michi bilang oke." Ujarku singkat.
Dia tersenyum lebar menatapku. "Syukurlah." Ujarnya sambil menggilaskan sisa puntung rokok ke dalam asbak dan segera menyulut satu yang baru. Wow, sudah berapa banyak batang sial yang dia habiskan malam ini? Kukira dulu dia bukanlah sejenis manusia yang rela merusak dirinya dengan cara seperti ini, namun tentu saja waktu yang berlalu menunjukkan kuasanya.
"Hmm....lalu apa yang akan kita lakukan setelah ini?" Lanjutnya.
'Apa yang akan kita lakukan setelah ini'? Bagaimana jika kita mengobrol? Seperti yang selama ini selalu kita lakukan, bukan? Mengobrol hingga minuman kami habis. Mengobrol hingga keriuhan di sekeliling kami habis. Mengobrol hingga waktu kami berdua habis.

  Dia melihatku di sela sela hembusan asapnya. Lalu setelah ini....apa?

***

Kami bertukar tawa di hening malam yang menusuk ini, menjadi satu satunya penghuni kafe kecil yang sudah kosong, mengisinya dengan percakapan tanpa beban.Faktanya,seisi pusat perbelanjaan ini susah lewat jauh dari jam operasionalnya. Kami berdua adalah kenekatan yang mendobrak segala peraturan yang ditetapkan pada malam itu. Kami berdua adalah kenekatan yang hadir dari pemberontakan-pemberontakan kecil dari kharusan yang biasanya membelenggu kebebasan kami. Malam itu, mall kecil di sudut barat Kota Jakarta merekam semuanya. Pegawai kafe memandang kami dengan suntuk, seakan bertanya-tanya kapan tepatnya kami akan pergi dari tempat itu. Beberapa satpam berjalan mondar - mandir tak jauh dari kami, barangkali (lagi-lagi) pertanda bahwa kami diharuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Tapi kami tak peduli, kami belum ingin pergi. Kami belum ingin pulang. Sepenggal malam ini terlalu berharga untuk hanya dilewatkam dengan bergelung di dalam selimut. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan cara yang akan kukenang sepanjang ingatanku.

***

Jalanan lengang, beberapa mobil diparkir dipinggir jalan. Tak tampak seorang pun melintas, entah kemana masyarakat pemuja hingar bingar Jakarta pada dini hari seperti ini.
"Ayo, itu taksi kita." Dia menunjuk sebuah mobil putih yang berjarak lumayan jauh dari tempat kami berdiri. Aku menyempatkan diri memandang bangunan yang sudah sepenuhnya gelap dibelakangku. suasana malam yang magis bagiku. Rasa sepi yang menenangkan. Susah sering kukatakan bahwa aku mencintai malam, bukan? Tak peduli sesusah payah apa aku mencoba menjelaskan alasannya, para idiot-idiot itu tak akan pernah sanggup memahaminya. Tunggu, barangkali aku sendiri juga merupakan salah satu dari para idiot itu, mengingat hingga saat ini aku tidak pernah bisa memahami dengan tepat alasannya. Yang kupahami, semesta itu indah. Dan malam-malam langka seperti ini adalah salah satu ciptaan semesta yang menjadi morfin bagiku.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memandang sekelilingku. Kesunyian yang jelas tidak akan kami dapatkan lagi, tidak di waktu ataupun dengan orang yang sama. Dan sesaat lagi, kami akan meninggalkan kenangan apapun itu, larut dalam alunan musik statis yang diputar dalam mobil bersuhu pendingin rendah dan kelebatan gedung-gedung tinggi yang masih memancarkan sisa-sisa keanggunannya, dan lalu kami akan dipaksa kembali pada rutinitas, pada aturan aturan yang membelenggu semua rasa senang, yang menjadikam setiap momen seperti ini terasa begitu berharga.
"Kau tahu, aku akan merindukan ini." Ujarku pelan sambil menatap jalanan lengang yang tengah kami lalui menuju rumah kost Michi.
"Aku tahu." Jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Aku menghembuskan napas pelan, berusaha menikmati setiap detik yang terlewat saat kami membelah jalanan ibukota.
"Aku tidak ingin pulang. Aku masih ingin berada selama puluhan ribu menit lagi di kota ini. Aku tidak ingin pulang ke kamar kostku yang pengap dan bertemu rutinitas membosankan di kota itu. Aku selalu bingung dengan konsep kepulangan jika aku ada disini." Aku berujar lagi.
"Kau bisa kembali lagi kesini enam bulan lagi, seperti yang selama ini kau lakukan." jawabnya. Aku menangkap nada getir dalam suaranya.

Tak lama kami tiba di depan bangunan kost Michi, aku memandang balkon lantai kamar teman kami dari jalanan dibawahnya.
"Jika aku kembali lagi nanti, kau masih akan menyambutku kan? Masih mau menemaniku menjelajahi Jakarta, kan?"

Dia menoleh kepadaku dengan dahi mengernyit. "Tentu saja. sebuah kehormatan bagiku bisa menemanimu saat kau berada di kota yang sangat kau cintai ini." Dan lalu ia tersenyum. Barangkali tersisip rasa sedih di dalamnya, entahlah. Aku tidak pernah benar-benar bisa mereka-reka arti guratan wajahnya, atau pikiran-pikiran tentangku di kepalanya....
Aku menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Pukul tiga dini hari, aku harus segera masuk untuk menghindari pandangan ingin tahu dan bisikan maut para pria yang mengamati kami sejak kami tiba tadi.
"So...this is good bye, then. Sampai kita bertemu lagi." Ujarku pelan.
Dia diam saja sampai akhirnya menghampiriku dan memelukku singkat. "Selamat tinggal, sampai kita berjumpa lagi."

Dan setelah itu, kami kembali kepada kenyataan kami masing-masing ; aku memasuki kamar Michi (yang sudah tertidur amat pulas), dan mengistirahatkan hati dan otakku untuk persiapan kembali ke kota asalku besok sore, dan dia berjalan berbalik memunggungiku,yang segera aku kehilangan sosoknya setelah ia berbelok di tikungan gang pertama. Begitulah...kami berjalan menuju persimpangan yang berbeda. Kami kalah telak, pada kekal jarak.
Waktu mempunyai batasnya, momen mempunyai masa kadaluarsanya. Setidaknya, semesta sudah berbaik hati menciptakan malam ini untuk kami.Dan untuk sekarang, bagiku ini sudah cukup. Jakarta dini hari, terima kasih banyak.

-junk, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

post anything :)