Kamis, 07 April 2016

Ephemeral

Aku tidak tahu apa tepatnya alasan manusia untuk jatuh cinta. Barangkali, ada sesuatu di balik bibir merah yang tersenyum malu-malu, atau sepasang mata yang menatapmu dengan penuh semangat. Atau bisa juga, karena mendengarkan celotehan kikuk yang sesungguhnya tak perlu cepat-cepat berakhir. Mereka bilang, cinta membuatmu tumpul, menggagalkan semua sistem kalkulasi logika yang telah kau perhitungkan dengan baik-baik dan meleburnya dalam rasa ingin tahu yang mendalam.
Cinta, cinta, cinta....atau mungkin begitulah yang mereka kira. Saat nafsu sudah tidak sejalan dengan nurani, keinginan untuk memiliki tak lagi dapat dihindari. Cinta, mereka menyebutnya. Ah, terlalu banyak cinta, Dewa Eros pasti sedang sangat berbahagia diatas sana.

"Kamu kenapa diam saja dari tadi, sih?" ujarnya membuyarkan lamunanku. Alih-alih menyahuti perkataannya, aku justru tertarik untuk mengamati bibir merahnya lebih mendalam lagi.
"Aku memikirkanmu, Nona manis."
Seperti yang sudah kuduga, dia tersenyum mendengar jawabanku. Manis sekali.
"Memangnya, apa yang kau pikirkan tentangku?" Dia menggigit bibir bawahnya dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Aku masih sanggup mengecap aroma parfum citrusnya dari jarak seamoral ini, membuatku mabuk dan ingin menyesap lebih dalam lagi. Mungkin semesta merestui kami, atau barangkali Dewa Eros sedang mengutuk kami berdua ; aku tidak tahu yang mana yang lebih menguntungkan, yang aku tahu, bibir kemerahan Thalia dan tubuh tanpa balutan busananya adalah hal terindah yang mampu kunikmati dengan segala inderaku malam ini. Mereka bilang, cinta membuatmu tumpul. Mereka bilang, cinta membuatmu--, ah persetan, terkutuklah semua dewa dewi yang saat ini sedang mentertawakan kami berdua dan akan segera menyeret kami ke dalam kehancuran.

"Ayo, cepat kenakan bajumu, lalu akan kuantar kau pulang. Kekasihmu pasti sudah khawatir menunggumu dirumah."
Dia tergelak mendengar perkataanku.
"Tenang saja, Sayang. Isi kepala sahabatmu itu hanya sebatas tugas-tugas kuliahnya. Dia tidak akan peduli jika aku tidak pulang semalaman, ataupun--" dia mengeratkan tubuhnya padaku "--jika aku muncul dihadapannya dengan bau parfummu yang menempel ditubuhku."
Kami berdua berpandangan dalam diam. Diam yang menuntut, karena aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Dia kembali merangsekkan tubuhnya padaku, bibir merahnya memagutku dengan kecepatan yang mampu mencairkan segala logika dan pikiran bermoral yang masih tersisa dalam sudut lain di kepalaku.

" Kau tahu, Sayang? Malam diciptakan untuk orang-orang seperti kita. Jadi, bagaimana jika kita menikmati malam ini lebih lama lagi?".

××××

Ruang kelas narratology, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

post anything :)