Surabaya, 27 Juni 2004, 09.40 p.m.
"Brakk!!"
Kirana membanting pintu mobilnya sekuat tenaga dan tak lama kemudian meluncurlah sedan merah itu ke jalanan padat kota ini. Malam belum terlalu larut, pukul sembilan lewat empat puluh lima menit terpampang di penunjuk waktu terpasang di dashboard. Kirana mengemudi dengan gusar, masih terbayang kata-kata ibunya sebelum ia pergi dari rumah tadi. Kata-kata yang menurutnya konyol, dan tak jelas apa sebenarnya tujuannya.
"Mau kemana kamu? Ini sudah malam, nggak baik anak gadis pergi malam-malam seperti ini. Tetangga kita sudah pada tertidur, kamu malah mau kelayapan! Bagaimana kalau mereka mencibir dan menggunjingkan kelakuan kamu ? Bikin orangtua malu saja! Memangnya kamu nggak bisa pergi siang tadi?!"
Setelah melalui debat panjang yang sesungguhnya tak ada titik terang namun berujung pada ultimatum ibunya yang mengatakan bahwa ia akan tidur diluar apabila sampai benar-benar nekat untuk keluar rumah malam ini, Kirana pun angkat kaki dan disinilah ia sekarang, menembus jalanan kota Surabaya yang masih diisi hiruk pikuk penghuninya .
"Beneran deh," ujar Kirana sinis sambil menyulut rokoknya. "Nggak harus pulang kerumah. Hmmm...mending tidur di rumah Sarah aja ah, ntar."
Sarah adalah teman dekat Kirana di kampusnya, dan sesungguhnya, Kirana dan Sarah memang berniat menghabiskan malam minggu mereka ini dengan beredar di RedboXX, diskotik langganan mereka.
"Halo? Iya, Sar. Ini udah berangkat, biasalah tadi ribut dulu dirumah. Udahlah nggak usah dipikirin. Nyokap gue bakalan aman aman aja kok dirumah. Lagian dia lebay banget, masa gue tiap main suruh balik jam sembilan mulu! Hah?! Iya, iya, sabar kenapa? Lagian juga masih jam sepuluh. Masih kesorean nih!" Celetuk Kirana lewat telepon, dan segera mereka berdua terkekeh mendengar kalimat terakhir percakapan itu.
"Okay, bye, see ya there." Tukas Kirana memutus percakapannya di telepon.
***********************
Surabaya, 28 Juni 2004. 03.07 a.m.
Kirana mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal yang ia mampu dengan kondisi kepala yang terasa berputar-putar.
Sialan, Sarah. Katanya mau ngajak balik bareng, malah balik ama cowok nggak tau siapa. Terus gue balik kemana nih? Pikir Kirana. Ia tidak terpikir sama sekali untuk pulang kerumahnya. Bisa ribut lagi di rumah, begitu pikirnya. Lagipula, bau alkohol dan asap rokok menyeruak keras dari semua sisi tubuhnya, bisa jadi bukan hanya ibunya, namun ayahnya yang pemarah itu ikut menghajarnya.
Karena desakan pusing dikepalanya dan dentaman musik yang tak hentinya dari dalam mobilnya, Kirana pun hilang fokus. Ia tak menyadari adanya truk panjang yang melaju berpotongan arah dengannya. Panik dengan lampu dim truk yang dinyalakan tanpa henti, Kiranapun menginjak tuas gas semakin dalam dan membanting setir ke sembarang arah.
Kaca depan mobil yang pecah adalah satu-satunya hal terakhir yang dapat diingatnya.
**********
Surabaya, 28 Juni 2004 03.13 a.m.
Kirana mengeluarkan tubuhnya dari mobil merahnya yang ringsek. Ia mengernyit memandang kekacauan di sekitarnya. Gue tadi nabrak apaan sih? Kok sepi gini? Gumamnya pelan. Ia juga heran mengapa ia gampang sekali keluar dari himpitan ruang kemudi mobilnya, disaat kondisi mobilnya sudah ringsek tak karuan.
Kirana menggeleng mengutuki kejadian di hadapannya. Padahal udah mau deket rumah, juga! Gerutunya sambil menepuk kepalanya. Aneh, pusing di kepalanya berangsur menghilang. Ia bahkan seperti tak merasakan apa-apa. Ia memeriksa body mobilnya sekali lagi. Ck, harus ke bengkel nih gue. Eh, apa ke kantor polisi dulu ya? Mumpung deket sini kayaknya ada pos polisi, deh. Lalu Kiranapun berlari, atau setidaknya, itulah yang dia rasakan. Sebenarnya, letak pos polisi itu cukup jauh dari tempat kejadian, tapi Kirana berlari dengan enteng saja.
Tiba di pos polisi, Kirana melihat dua petugas sedang berjaga di gardu depan. Dengan tergesa, ia mengetuk kaca ruangan kecil itu. Kedua petugas tadi bukannya menjawab, malah saling menguap dengan bosan.
Orang-orang ini emang nggak pernah bisa kerja bener kali, ya? Gerutu Kirana. Kirana hendak menggedor kaca ruang jaga tersebut saat mendadak seorang petugas lain masuk. "Ada peristiwa bunuh diri di rumah di kawasan Diponegoro, penghuninya ditemukan tak bernyawa dengan sepucuk pistol ditangan kanannya." Demikian lapor petugas yang baru tiba itu. "Dan ada kecelakaan di jalanan dekat stasiun, sebuah mobil sedan bertabrakan dengan truk. Pengemudi truk dikabarkan hanya cedera ringan, sedangkan pengemudi mobil belum dapat dipastikan keadaannya. Tolong segera hubungi petugas yang lain untuk mengurus perkara ini." Selesai petugas itu memberi perintah, dua petugas jaga tadi segera sibuk tak karuan, mengacuhkan Kirana yang menjadi semakin geram.
Namun Kirana sedikit penasaran dengan kasus bunuh diri dengan pistol yang dikabarkan tadi. Para petugas tadi mengatakan bahwa kasusnya aneh, karena moncong pistol yang digunakan berada dalam jarak tembak dekat, namun darah korban tercecer kemana-mana di dalam ruangan kamarnya yang cukup luas.
Kirana bergidik, ia melihat jam di ruang jaga yang sudah menunjukan pukul tiga lewat dua puluh satu menit. Mending gue buruan balik, terus nyuruh Mang Aji buat bawa mobil gue ke bengkel entar deh, putusnya. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya. Disepanjang perjalanan menuju rumahnya, ia sibuk memikirkan tentang kasus bunuh diri aneh yang dikatakan petugas di pos tadi.
Dunia ini memang kejam, namun Kirana tidak pernah sampai terpikir untuk mengakhirinya dengan sengaja. Bunuh diri bukanlah jalan yang tepat, begitu gumamnya setiap saat pikiran itu kembali muncul. Sebenci apapun Kirana pada keluarganya, ia toh tetap saja ingin selalu bersama mereka. Ia tidak pernah siap akan konsep kematian, konsep ditinggalkan ataupun meninggalkan. Baginya, kematian terasa seperti lorong panjang dengan sinar menyilaukan di kejauhan ujungnya, yang sejauh apapun Kirana melangkah, sinar itu tetap tak dapat ia raih. Siapa yang menjamin di dunia mana Kirana akan tinggal setelah jiwanya terpisah dari raganya nanti? Siapa yang bisa menjamin apakah ia masih bisa bertemu bersama kedua orangtuanya di kehidupan kekal lainnya nanti? Semuanya terasa begitu buram. Absurd. Dan Kirana tidak pernah memiliki secuil keinganpun untuk menantang maut.
Kirana tiba dirumahnya. Aneh, tidak hanya mobil ayahnya yang terparkir di depan rumah, namun juga beberapa mobil polisi dan ambulans. Ayahnya memang memiliki hubungan dekat dengan beberapa personil pertahanan negara itu, namun apa yang mereka lakukan dirumah ayah jam segini? Kirana tak habis pikir. Di halaman rumahnya, keanehan kembali tercium oleh Kirana. Beberapa satpam rumahnya hilir-mudik keluar masuk ruangan dan ayahnya berteriak-teriak tak jelas. Apapun yang diteriakkan ayahnya, Kirana tak mampu mencernanya. Kirana mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah. Ada beberapa petugas berseragam yang duduk di ruang tamu rumahnya, dan ia mengenali salah satunya, yang berjaga di pos yang ia datangi tadi . Kirana mengernyit bingung. Kemana kakaknya dan ibunya? Ada apa sih ini?
Salah satu dari petugas itu berujar dengan pelan, menyatakan penyesalan atas ditemukannya tubuh 'anak bapak', begitu yang ia bilang, yang tewas terjepit kemudi ringsek yang menghujam dadanya.
Selama beberapa menit kemudian, telinga Kirana terasa berdenging dalam upaya kerasnya mencerna kata-kata petugas itu. Tak lama kemudian terdengar teriakan keras bercampur dengan tangisan, saat mobil ambulans di depan rumah Kirana menurunkan muatannya. Karla, kakak Kirana menangis histeris dan merengek seperti anak kecil tak jauh dari tempat Kirana berdiri. Begitupun ayah dan ibunya.
Kirana menatap semuanya bagai menatap kilasan film yang dipercepat. Rasa bingung bercampur kepanikan dan takut perlahan mulai menjalar kepadanya. Senakal apapun Kirana, ia tetap manusia biasa yang takut akan kematian, sudah seringkali ia mengungkapkan hal itu, dan ia berharap tidak perlu mengalami ataupun melihat kerabat dekatnya dijemput ajal , meskipun ia juga tahu bahwa harapan itu hanyalah berupah kemustahilan.
Namun kini, kembali ke rumah orangtuanya , ia diseret menghadap kenyataan saat menatap Karla yg masih menangis histeris di hadapannya. Demikian juga dengan ayah ibunya. Mereka semua terduduk membelakanginya, namun Kirana yakin, siapa sosok diatas kain putih yang terletak di tengah ruangan itu. Dan benar saja, dirinya, atau sosok lain dari dirinyalah yang terpaku membiru dengan sayatan luka yang telah dibersihkan dan bilur disana-sini. Ia gemetar. Ibunya tak henti menangis dan menyebut namanya, serta mengungkapkan penyesalannya telah membiarkan Kirana keluar dari rumah malam tadi. Kirana tercengang, tak mengira kekurang ajarannya pada ibunya tadi berbuntut menyedihkan seperti ini. Ia terisak ketakutan, ia ingin sekali meminta pertolongan pada ayahnya yang meskipun sering marah tanpa alasan padanya, namun selalu siap membantu apabila ia membutuhkan perlindungan; ataupun berbagi tangis bersama Karla, yang sering mengomel tak jelas mengenai tingkahnya, namun tak pernah menutup tangan saat Kirana membutuhkan pertolongan; ataupun memeluk dan meminta maaf atas kenakalannya kepada ibunya, sekedar mengatakan bahwa ia akan baik baik saja, meskipun ia sendiripun meragukannya.
Tanpa sadar, ia justru berjalan menjauhi kakak dan kedua orangtuanya, seakan ada angin yang menariknya hingga ia tiba di jalanan kompleks perumahannya.
Ia berjalan kalut, kemana ia harus pergi? Sebenci-bencinya ia kepada rumah dimana ia tumbuh dewasa, toh ia tetap selalu ingin kembali kesana. Kepada siapa ia harus memohon sekarang? Sudah tidak ada lagi yang dapat menyatukannya dengan keluarganya yang-jauh dalam lubuk hatinya- ia tahu ia mencintai mereka. Tidak lagi satupun dari mereka yang bisa menolongnya, memeluknya, atau bahkan sekedar mendengarkan ketakutannya.
Ia berjalan linglung. Ia merasa berada di sekitar lingkungan perumahan namun kesepian tercetak dimana-mana menyambutnya. Bahkan daun di pepohonan seperti tak bergerak. malam seakan berhenti bagi Kirana.
Ia berjalan linglung. Kemana ia harus pergi sekarang? ia merasa bahwa keluarganya seakan memberikan lambaian selamat tinggal padanya dari kejauhan. Namun sebagaimanapun ia mencari, semuanya tetap kosong. Gelap tak berakhir. Hanya ada dirinya sendiri disitu, bahkan binatang-binatang malam pun seakan enggan menyapanya. Ia meyakinkan diri bahwa ini hanyalah salah satu dari mimpi-mimpi buruk yang kerap mendatanginya jika ia tertidur dalam keadaan mabuk. Namun ia tidak bermimpi, dan kenyataan itu semakin membuat pikirannya histeris.
Ia berjalan linglung. Kemana ia harus pergi sekarang?
***********************************
-monica amanda , Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
post anything :)