Aku berada disini lagi.
Sebenarnya aku memang selalu akan ke sini pada hari ketigaku. Aku selalu menyempatkan diriku untuk kemari, dengan ataupun tanpanya, meskipun seringnya yang terjadi adalah tanpanya. Aku mengamati gelas teh dingin yang belum kusentuh sejak tadi. Rokokku sudah terbakar memasuki jumlah ke empat. Aku duduk menghadap ruang kosong, berandai andai apabila dia ada disini saat ini. Berandai andai jika dia duduk di depanku. Apa yang akan kulakukan? Mungkin aku bisa berbincang tanpa lelah dengannya, seperti yang dulu selalu kami lakukan. Mungkin saja aku bisa menggenggam tangannya, menyerukan semangat untuk segala kepelikan yang dihadapinya, tanpa aku pernah benar-benar bisa bertanya mengapa. Atau mungkin juga aku bisa menciumnya, menggantikan waktu-waktu dimana raga tidak bisa menemaninya berjuang dalam kegusaran yang selalu dialaminya. Terlalu banyak hal yang mungkin, tetapi kenyataan tidak pernah memberi kesempatan untuk benar-benar mencari tahu. Lalu aku akan kembali berandai-andai.
Bagaimana jika ia berada disini sekarang?
Begitulah. Lagipula, dengan cara apa dia bisa tahu bahwa sekarang aku berada disini, bukan?
Aku menjejaskan sisa rokokku, meneguk segelas teh yang dinginnya sudah tawar, lalu meletikkan sebatang lagi. Rokok kelimaku. Biasanya aku tidak merokok sebanyak ini dalam satu kesempatan. Tidak jika dia bersamaku. Tapi kali ini, dan akan banyak kali lainnya, dia tidak akan bersamaku. Lantas apakah arti jumlah angka yang masih bisa kusadari?
Aku kembali berandai andai. Sambil menggumamkan satu lagu yang cukup kuingat yang sedang bergema di tempat ini. Jika dia disini, dia akan menggelengkan kepalanya dibarengi dengan decak tanda bosan. Selera lagumu selalu aneh. Kira-kira begitulah kata kata yang selalu terlontar. Ya, selera laguku memang aneh, lagu yang diputar ditempat ini selalu aneh. Tempat inipun terasa semakin aneh. Atau hanya aku saja yang semakin lama menjelma menjadi sosok yang semakin aneh. Tapi dia selalu memaklumi. Setidaknya, dulu begitu. Sampai dia menemukan sosok lain yang membuatnya berpikir bahwa hidup ini akan lebih membahagiakan jika dilewatkan lagi bersama seseorang yang membuatnya tidak perlu ikut merasa aneh.
Lalu apakah aku punya pilihan?
Apakah aku harus menyeretnya duduk kembali dan mendengarkan kata-kata aneh dari hadapannya?
Atau apakah aku bisa memeluknya dan mengatakan bahwa kami akan menemukan cara apapun untuk mengatasi keanehan ini?
Bagaimana?
Bukankah sudah kubilang aku tidak punya pilihan?
Yasudah. Aku akan kembali berandai-andai.
Rokokku memasuki angka kedelapan. Setidaknya, itulah jumlah yang kuingat. Aku membiarkan minuman yang semakin lama semakin memudar warnanya dihadapanku, tanpa menyentuhnya. Dan dengan ditandaskannya sisa abu kedelapanku, aku membayar lunas semua rasa rindu dan kenanganku padanya di tempat ini.
Somewhere only we (literally) know, 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
post anything :)