"Mengapa sih, kau begitu menyukai kota Jakarta?"
Kemarin malam, salah seorang temanku--tidak, sepertinya tidak cukup bisa dibilang teman karena aku baru mengenalnya selama beberapa hari di kota ini-- kenalanku menanyakan hal ini.
"Mengapa aku begitu menyukai kota Jakarta? Entahlah aku juga tidak terlalu tahu." Jawabku sambil menghembuskan asap rokokku--rokoknya yang dibaginya bersamaku. Dia masih menatapku dengan penuh tanda tanya, mungkin aneh baginya mengetahui fakta ada beberapa orang, aku salah satunya, yang begitu menyukai sebuah kota--yang bagi orang lain dianggap tempat yang tidak cukup baik.
Aku mengendikkan bahuku. Kenyataannya, aku juga tidak pernah tahu mengapa aku bisa menyukai kota itu. Jelas bukan kota yang terbaik ataupun yang ternyaman yang pernah kudatangi (memang tidak banyak kota yang pernah kudatangi, namun tetap saja).
"Mungkin kau hanya belum menjelajahi tempat dan kota-kota baru yang lebih asyik saja. Masih banyak kota yang berpenampilan bagus diluar sana, kau tahu?" tanyanya lagi, masih penasaran.
Aku menatap ke arahnya pelan. "Aku tidak membicarakan penampilan sebuah kota, kau tahu? Aku juga tidak tahu bagaimana, namun setiap kali aku berada di kota itu aku merasa....nyaman? Aku merasa aman, seperti aku berada dirumahku sendiri, meskipun mungkin kenyataannya tidak seperti itu dan meskipun aku tidak mempunyai urusan apapun yang berhubungan dengan keluargaku."
"Hei, Jakarta kota yang jahat kau tahu? barangkali kau belum pernah mengalaminya sendiri!" Ia tertawa pelan, membuatku tersenyum.
"Mungkin. Kau menyumpahiku, ya?" tanyaku separuh bercanda. "Lagipula, buat apa berkonsentrasi pada sisi buruk sebuah hal yang kau sukai jika kau bisa mengalami sisi yang lainnya?"
"Kau bilang kau menyukai banyak gedung-gedung tinggi yang bercahaya di malam hari. Barangkali itu alasanmu menyukai kota itu?" Ia masih bertanya.
Aku tergelak sebelum menjawabnya. "Hei, aku tidak tinggal di desa antah berantah, oke. Di kota asalku juga terdapat hal-hal seperti itu, namun tetap saja terasa berbeda." Aku menggelengkan kepalaku perlahan. "Entah..."
"Aku tetap tidak paham." Ujarnya sambil menjejaskan sisa rokoknya diatas sebuah gelas kaca yang malam ini kami alih fungsikan sebagai asbak, dan segera ia memantik rokok lainnya dengan cepat.
"Tidak ada yang bisa memahami hal ini. Begitupun aku. Ini seperti semacam permainan emosi, kau tahu?" Jawabku.
Kami berdua terdiam cukup lama, berkonsentrasi pada asap rokok yang menguar dari mulut mulut kami.
"Lalu kapan kau akan ke Jakarta lagi?" tanyanya setelah hening lama yang menyenangkan.
"Aku tidak tahu. Itu kota yang dekat, sebetulnya. Namun semakin lama rasanya semakin sulit di jangkau." Aku mengambil sebuah rokok baru, memantiknya, lalu menatap seseorang di depanku ini. "Aku takut jika suatu hari nanti, entah karena kesibukan atau apapun, akan menjadi semakin jauh keberadaanku dari kota itu dan aku mulai melupakannya. Melupakan rasa aman itu, melupakan hal-hal menyenangkan disana, melupakan detail-detail kecil di dalamnya. Bagaimana jika suatu saat aku lupa, disaat hingga detik ini, aku sama sekali tidak ingin lupa?"
-junk
Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
post anything :)