"Dear, Nona Thalia.
Apa kabar?
Oh, tentu saja ini hanya sebatas kalimat basa-basi pembuka surat. Kita baru saja bertemu tempo hari dan syukurlah kau terlihat sehat-sehat saja.
Begini, aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk tiba-tiba menulis surat ini untukmu, yang kutahu, kini kau sudah tidak merasa terganggu lagi apabila menerima hal semacam ini dariku. Aku senang, sungguh aku sangat senang. Namun, Nona, tanpa kita sadari (atau barangkali hanya aku), banyak sekali permasalahan remeh yang terjadi pada kita belakangan ini, yang membuatku sulit untuk menyalahkanmu secara langsung meskipun aku sangat ingin. Beberapa waktu yang lalu, temanku berkata mengenai mengapa aku tidak terlalu memusingkan diri karena terlihat masih sendiri saja, sedangkan beberapa temanku yang lain merasa tertekan atas masalah mengenai mereka masih sendiri saja. Aku hanya tertawa saja. Maksudku, seberapa penting adanya sebuah status dalam hubungan, Nona? Yah, tadinya sih kupikir itu tidaklah terlalu penting. Sampai akhirnya aku menyadari permasalahan remeh yang datang dari teman-temanku lainnya semacam dimana pacarmu, siapa pacarmu, mengapa kau tidak pernah terlihat bersama pacarmu. Aduh, Nona...memangnya siapa pacarku?
Bergurau, Nona Thalia. Aku hanya bergurau. Jangan cemberut saat membacanya, ya. Hehehe.....
Namun mereka benar, bukan? Saat mereka bertanya dimana pacarku, aku bahkan juga tidak tahu pasti dimana kau sedang berada, atau bahkan bersama siapa. Saat mereka bertanya siapa pacarku, aku bahkan tidak mampu menyebut namamu di depan mereka. Saat pasangan lain mampu mengabadikan momen kebersamaan mereka di media sosial, aku bahkan tidak tahu apalah kita mampu mengabadikan momen kebersamaan kita di kehidupan nyata. Tidak, Nona Thalia, aku tidak iri pada mereka. Aku hanya merasa lelah, tidakkah kau juga merasa lelah membohongi semua orang yang kau cintai selama ini?
Aduh, aku ini terlalu banyak memprotes, ya? Yasudahlah, sebaiknya lekas saja kuahkiri surat ini agar kita sama-sama tidak terlalu lelah memusingkannya.
Jika surat ini nanti tiba padamu, tentu aku sudah berada di kota sebelah untuk meliburkan diri (atau melarikan diri)? Entahlah.
Jaga kesehatanmu baik-baik, Nona Thalia, sampai berjumpa lagi ketika aku menjumpaimu.
Salam
Girindra,"
Girindra melipat perlahan surat yang baru saja selesai ditulisnya, lalu memasukkannya dengan sangat hati-hati ke bagian depan tas ranselnya. Setelah tiba di Yogyakarta nanti, ia akan segera mengeposkan surat itu untuk Thalia. Ia lalu menoleh ke samping kirinya dan mendapati hamparan sawah yang disirami cahaya matahari pukul empat sore. Pemandangan itu mengabur dengan cepat, seiring cepatnya kereta sore yang dinaikinya hari ini. Seharusnya, itu menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi Giri-begitu ia biasa dipanggil. Ia bisa mulai mengeluarkan buku sketsanya dan menggambar apapun ; hirukpikuk di dalam kereta ini, atau pemandangan dari luar jendela tadi, atau bahkan pasangan didepannya yang asik berpelukan seakan kereta ini milik mereka berdua saja. Dalam keadaan biasa, Giri pasti sudah tertawa geli melihat kelakuan pasangan semacam itu. Nyatanya dia kini hanya duduk terdiam sambil memandang keluar jendela, entah apa yang bisa dinikmati dari pemandangan yang bertahan dalam hitungan milisekon itu.
Girindra mendengus kesal. Harusnya kau juga berada disini, Thalia. Harusnya kau ada disini, gerutunya pelan. Belum apa-apa dan ia sudah merindukan gadisnya itu. Bagaimana ini? padahal tujuan utama ia pergi ke Yogyakarta di tengah-tengah semester padat seperti ini kan untuk melarikan diri sejenak darinya, dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan atau bahkan ditanggapi. Ia terjebak dalam keinginan untuk segera kembali ke kota asal dan keinginan untuk berada jauh dari kota asal selama yang ia mampu. Segala kontradiksi yang terjadi dalam hidupnya selalu tentang Thalia. Selalu karena Thalia. Menyakitkan sekali, namun juga menjadi candu baginya.
Ia kembali memandang keluar jendela. Kali ini pemandangannya adalah perkampungan tepi rel dengan anak-anak kecil yang bermain disinari cahaya sore yang mulai meredup. Kereta berjalan memelan, barangkali ada kereta lain yang hendak lewat bersisian. Ia menyandarkan punggungnya pada bangku kereta dan mengamati apapun yang ditangkap oleh lensa matanya dengan getir.
Nona thalia, apapun ini...sudah terlalu lama. Cinta ini.....sudah terlalu tua.
*****************************
-junk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
post anything :)